Sabtu, 16 Juni 2012

Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang (Pamusuk Eneste)





            Buku karya Pamusuk Eneste yang berjudul Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang merupakan buku yang berisi tentang latar belakang dan cara mengarang seorang sastrawan. Dalam buku ini ditulis tentang dua belas sastrawan Indonesia.

A.    Linus Suryadi AG ( Etos Kreatif dan Proses Kreatif)
Semenjak kecil Linus tidak mempunyai tradisi membaca. Dia lebih sering
mengembara kambing dan kerbau. Cita-citanya juga bukan sebagai penyair, melainkan sebagai tentara. Linus pernah bersekolah di Akademi Bahasa Asing dan di Sanata Dharma keduanya di Jurusan Sastra Inggris, namun keduanya sama-sama tidak tamat karena bosan. Linus pun tak punya aktivitas dan hanya menganggur saja. Karena hanya menganggur akhirnya menulis puisi saja.
            Linus berkenalan dengan sastra Indonesia Modern saat membaca majalah Horison milik temannya. Pernah suatu hari Linus diajak temannya ke kantor mingguan Pelopor Yogya. Dia pun mencoba berkali-kali mengirimkan beberapa puisi ke surat kabar mingguan tersebut namun tidak dimuat. Linus pun membandingkan puisinya dengan puisi-puisi Rendra, Chairil Anwar dll. Setelah dibandingkan dia merasa puisinya jelek dan kemudian memperbaikinya. Akhirnya sajaknya yang berjudul Alibi muncul di Pelopor Yogya.
            Linus menulis puisi biasanya pada waktu malam hari dan pada waktu bulan-bulan tertentu yakni pada bulan yang berakhir “mber” September-Desember.  Pernah dia menulis selain pada bulan itu, namun puisinya jelek. Dia menulis puisi juga merupakan hasil inspirasi dari kejadian-kejadian nyata yang dikembangkan. Jalan tugu Jogja sampai Malioboro inilah tempat kegemaran Linus untuk mencari inspirasi menulis puisi. Misalnya sajaknya yang berjudul Memanggil, dia terinspirasi dari seorang wanita cantik yang memanggilnya di jalan Malioboro. Contoh lain prosa lirik yang berjudul Pengakuan Pariyem, dia terinspirasi dengan wabah paceklik di Gunung kidul, sehingga banyak orang yang pergi ke kota dan salah satu dari banyak orang itu adalah Pariyem seorang janda muda.  

B.     Darmanto Jatman ( Hanya Daun, Cuma Daun)
Darmanto dilahirkan pada keluarga yang mempercayai kecerdasan dan iman.
Darmanto suka ikut koor di gereja dan menyanyikan lagu amung godhong / hanya daun. Ungkapan ”hanya daun” banyak tergores dalam sajak-sajaknya. Darmanto menempatkan ”rasa” sebagai hal yang penting yang mampu membuatnya menulis. Dalam menulis sajak dia tidak hanya membaca sajak-sajak Chairil, Rendra, tetapi juga membaca esai-esai teori maupun kritik sastra. Dia juga berpendapat bahwa sajak itu merupakan bagian dari caranya menghadirkan pengalaman otentik dalam bahasa yang indah.
            Darmanto tidak pernah masuk fakultas sastra, tetapi dia malah masuk fakultas teologi karena ingin memahami hidup. Kemudian dia melanjutkan ke fakultas psikologi karena ingin bisa lebih memahami manusia dan manusialah yang menjadi ob sbyek dalam sajak-sajaknya.
            Darmanto pernah menggugat struktur nilai dalam persajakan Indonesia yang piramidal sifatnya, dengan Horison sebagai puncaknya. Suatu struktur yang menurutnya otoriter dan tidak menguntungkan untuk perkembangan sajak Indonesia yang mulai kurang warna. Darmanto pernah juga memperluas room for manouver untuk publikasi puisi di media massa daerah dengan menyelenggarakan Pertemuan Redaksi-redaksi Budaya di Semarang.

C.    Titis Basino P.I (Bergurau atau Mencela lewat Mesin Ketik)
Titis menulis ketika muda hanya sekedar memenuhi tugas guru sekolah. Ada
sesuatu yang beda dari tulisannya bila dibanding dengan teman-temannya, yaitu tulisannya yang selalu langsung pada persoalan kemudian dampak dari persoalan itu. Titis senang menulis tentang guru-guru yang diagungkan pada masa itu. Tentu saja guru-gurunya tersinggung, namun dampak baiknya mereka malah berusaha untuk memperbaiki sifat-sifatnya. Semenjak mudapun Titis tak pernah terbayang bisa hidup dari karangan.     
Titis berkeinginan mengisi majalah sastra saat  ada waktu senggang, atau sekedar
 membunuh waktu. Titis menulis dengan sebuah mesin ketik usang milik temannya. Dia menulis tentang kehidupan disekitarnya. Saat mengirim karyanya ke majalah, dia selalu mengacuhkan soal honor, yang terpenting baginya adalah menulis sekedar membunuh waktu dan menyampaikan pesan pada orang-orang.
            Titis berpendapat bahwa seorang pengarang harus lepas dari keadaan dirinya, agar bisa menempati perasaan tokoh yang sedang ditulis. Kadang Titis mengetik tanpa aturan, dari tepi satu ke tepi yang lain, bahkan tanpa spasi. Setelah dia koreksi, baru dia memanggil tukang ketik dan dia ajari bagaimana menulis sesuai kemauannya. Titis banyak menulis cerpen yang serba menggelitik kaum adam, karena hanya dengan mesin ketik dia bisa berbuat semaunya dengan ”aman”.

D.    Saini K.M (Kreativitas sebagai Konfrontasi)
Penulis Saini K. M dilahirkan bukan saja di dalam keluarga yang dekat dengan kesenian, bahkan di kampung yang menonjol di bidang keseniannya, seperti karawitan, wawacan, hingga cerita-cerita wayang. Walaupun persinggungannya dengan kesenian umum dan sastra daerah terjadi sejak ia masih kanak-kanak, tumbuhnya minat dan keterlibatannya dalam sastra Indonesia dimulai sejak ia duduk di kelas enam Sekolah Rakyat. Ia belajar sastra dengan membaca buku-buku karya Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar milik kakak perempuannya yang telah duduk di kelas dua SMP. Di saat remaja, ia banyak dimintai bantuan oleh teman-temannya untuk membuat naskah pidato, menyusun acara kesenian, hingga menulis naskah drama untuk acara akhir liburan.
Ia banyak mengungkapkan protes-protes sosial dalam kumpulan sajak-sajaknya. Kekacauan baginya adalah kesenjangan antara kenyataan dan impian. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Saini dalam menuliskan sajak-sajaknya.
Saini menyatakan bahwa ia telah melakukan pengembaraan rohani. Pada bagian awal, ia menentukan sikap terhadap masalah-masalah sosial dalam bentuk protes. Kemudian, kesadaran akn tidakberdayaannya dalam menghadapi masalah-masalah sosial itu menyebabkan ia berubah dan ragu terhadap asas etiknya.
Dalam hal seniman, menurut Saini reativitas terletak pada keberhasilan mewujudkan visi dalam bentuk karya. Panggilan hidupnya ialah menerjemahkan visinya kedalam bentuk lambang-lambang. Akibatnya, bagi seniman, kreatiitas berarti konvontrasi ganda, disatu pihak ia berkonvontrasi dengan kehidupan, dipihak lain dengan medium atau media yang harus diolahnya menjadi lambang-lambang itu. Bahasa sebagai medium kesenian bagi seorang penulis memiliki kehidupan dan dinamikanya sendiri. Oleh karena itu, konvontrasi dengannya lebih berarti pengolahan dan pengendalian dari pada penggunaan atau eksploitasi.
            Menurutnya menulis dapat ditafsirkan sebagai usaha menerobos dinding-dinding kesepian. Dengan menulis, seorang pengarang membangun jembatan hubungan dengan orang lain yang selanjutnya diharapkan hubungan ini dapat menyentuh kesadaran pembacanya. Sentuhan itu dapat berupa tanggapan awam atau telaah kritikus. Apapun bentuknya, sentuhan itu mengurangi beban kesunyian dalam suatu perjalanan dan pengembaraan spiritual.

E.  Rendra (Proses Kreatif Saya sebagai Penyair)
Rendra sebagai seniman mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan “bentuk seni” yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikirannya. Waktu remaja, rohani dan pikiran rendra asyik melebur ke dalam alam dengan hukum alam dan gejala-gejala alam serta tertarik kepada penghayatan alam dongeng, legenda, dan metodologi. Rendra sering berada dalam keadaan trance atau stoned karena kesadaran di luar perbendaharaan kebudayaan sehari-hari, di luar akal sehat pada umumnya. Hal tersebut terlihat pada kumpulan sajak Rendra, Balada Orang-orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Duabelas Perak, dan Malam Stanza.
Permulaan tahun-tahun mahasiswa, Rendra yang masih dalam keadaan rohani dan pikiran yang stoned, jatuh cinta dan menikah. Peristiwa jatuh cinta dan pernikahan mendorong Rendra untuk lebih menyadari peristiwa hidup dan mati dalam alam. Dalam periode ini lahir sajak-sajak Rendra, Kakawin Kawin dan Masmur Mawar.
Pada waktu Indonesia sedang terjadi pergolakan Sosial, Politik, dan Ekonomi yang besar, Rendra menghasilkan Sajak-sajak Sepatu Tua. Baru. Setelah tahun 1964 Rendra pergi ke Amerika Serikat dan tinggal selama tiga setengah tahun. Perubahan dari alam stoned berubah ke alam common-sense ternyata tidak mudah. Dalam ketegangan kreatif, lahirlah Blues Untuk Bonie yang tidak merumuskan persoalan Sosial-Politik, tetapi persoalan Moral dan Common-sense.
Dari tahun 1971 sampai 1978 Rendra hanya menghasilkan beberapa sajak yang dikumpulkan dalam Potret Pembangunan dalam Puisi. Ketika dibacakan dimuka umum, ternyata sambutan umum sangat baik. Hal ini menurut Rendra merupakan usaha artistik yang berhasil. Sebab jembatan antara seniman dengan khalayak ramai hanyalah kekuatan bentuk seni. Khalayak ramai adalah alat penunjuk suksesnya “Bentuk Seni” yang lebih baik daripada kritikus. Sebab khalayak ramai selalu punya kenyataan kehidupan yang akan dipakai untuk mengukur relevansi “Bentuk Seni” maupun “Isi Seni”. Sedangkan kritikus hanya punya teori seni dan selera seni yang kadang-kadang aneh karena sudah jauh terlepas dari kenyataan kehidupan manusia secara lahir maupun mental.

F.     B. Soelarto (Didorong oleh Percintaan)
B. Soelarto baru merasa “mampu” menulis cerpen pada tahun 1956 ketika masih studi di SMA-A Negeri Semarang, ketika cerpennya dimuat di ruang “Gelanggang” majalah Siasat. Yang mendorong B. Soelarto menulis cerpen-cerpen adalah keinginan untuk lebih banyak tahu tentang percintaan. Pengalaman bercinta menjadi sumber inspirasinya selama bertahun-tahun dan sampai awal dasawarsa 60-an, warna dominan dalam tulisan-tulisan adalah warna percintaan.
Pertama kali B. Soelarto menulis cerpen yang tidak diwarnai percintaan adalah ketika B. Soelarto melihat dari dekat suatu peristiwa penodongan dalam sebuah oplet di Jakarta dan kemudian dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia. B. Soelarto memandang peristiwa-peristiwa sosial itu sebagai sketsa-sketsa kehidupan, sehingga ia cenderung unuk menulis cerpen-cerpen sebagai snapshots dengan teknik penulisan cerpen gaya sketsa.
Awal dasawarsa 60-an, B. Soelarto tertarik pada dunia lakon dan memimpin suatu grup pecinta teater bernama “Gaya dinamika” kemudian juga tertarik untuk mencoba menulis sebuah lakon bergaya sketsa guna dipentaskan. Lakon bergaya sketsa yang diberi judul karikatural “Domba-domba Revolusi” dimuat dalam majalah Sastra dan memperoleh Hadiah Sastra dari majalah Sastra. Dengan garang dari kubu Lekra/ PKI mencap lakon tersebut sebagai karya “Kontra Revolusi” yang identik dengan  pengkhianat pada zaman Nasakom. ”Catatan Tahun 60” adalah judul kumpulan cerpen B. Soelarto tentang peristiwa-peristiwa sosial di Semarang dan dua diantaranya yaitu cerpen “Tanah” dan cerpen “Rapat Perdamaian” yang juga mendapatkan kecaman dari PKI tetapi juga meraih Hadiah Sastra dari majalah Sastra.
Antara tahun 1962 hingga awal tahun 1965, B. Soelarto berhasil merampungkan tiga lakon lagi dan belasan cerpen. Namun ia terjangkit penyakit TBC, walaupun begitu tetapi ada dua hal yang membuat B. Soelarto masih tetap bisa tersenyum yaitu dengan kunjungan rutin Iwan Simatupang, lewat surat-suratnya dan juga kunjungan sobat-sobat yang selalu meramaikan gubuknya yang berdinding anyaman bambu kumuh dengan seringnya diskusi.
Walaupun B. Soelarto simpati terhadap kelompok “Manifes Kebudayaan” tetapi tetap konsisten pada pendiriannya yang akan mandiri tanpa bernaung pada kelompok manapun. B. Soelarto pun mempunyai tekad yang akan menuruti panggilan nurani untuk terus menulis, sampai akhir hayat.


G.    Toeti Heraty (Usaha Penelusuran Proses Kreatif)
Untuk menelusuri proses kreatif sendiri, ada dua syarat yang mesti dipenuhi dahulu bagi Toeti Heraty, yaitu konsentrasi perhatian introspektif serta minat narsistik. Kesulitan yang dihadapi Toeti adalah karena sudah terlanjur dijangkiti oleh teori tentang kreativitas Koestler, yang beranggapan bahwa dalam kreativitas dapat memperhatikan tiga bidang,yaitu kreativitas humor, kreativitas ilmu pengetahuan, dan kreativitas seni. Titik tolak penelusuran kreativitas bertolak dari posisi mengamati, menyingkir dari medan action, tidak menjadi pelaku tetapi berdiri di pinggir dalam posisi marjinal. Dengan berbagai minat dan kegiatan yang bermacam-macam dan diikuti oleh Toeti Heraty itulah yang memberi dasar pemahaman luas dan mendasar.
Ketika menghadapi publik secara tatap muka dengan menjadi pembicara pasti reaksi public cukup menunjang dan mendukung. Tetapi ketika diminta agar makalah diterbitkan pasti akan mengecewakan karena sifatnya yang abstrak,padat dan impersonal. Oleh karena itu, Toeti Heraty merasa kurang cocok kalau menulis novel karena kurang sabar dalam pemaparan.
Bagi Toeti Heraty penulisan sajak bukan penulisan dalam arti sesungguhnya tetapi kesan-kesannya. Pertama kali sajak-sajak Toeti Heraty dimuat di majalah Horison pada tahun 1967 dengan ulasan Subagio yang ramah apresiatif dan juga esei Toeti tentang eksistensialisme yang dimuat dalam eksemplar Horison yang sama.
Belum sempat identitas sebagai penyair diperoleh, tiba-tiba oleh harian Sinar Harapan menyebutnya sebagai bekas penyair. Meskipun demikian ia tetap terima dan juga hadir pada undangan membaca sajak di Rotterdam, Iowa, TIM, Erasmus Huis, dan Lembaga Indonesia Amerika. Kesempatan-kesempatan langka yang tidak ia ari ini sesuai dengan penulisan langka sekitar total delapan puluh sajak, yang bermodalkan keharusan. Bagi Toeti Heraty ada rasa lega dan tenang dalam berakhirnya monolog pencatatan sajak ini.

        

H.    Y.B Mangunwijaya (Pengakuan Seorang Amatir)
Novel-novel YB. Mangunwijaya dibuat melalui proses serba tumbuh, dari
gagasan awal sampai siap terbit melalui trill and error. Menurut pengakuannya hal ini disebabkan karena dalam bidang sastra, ia masih seorang pemula. Menurutnya, unsur yang paling menentukan dalam sastra adalah ide dan bentuk, keduanya merupakan satu kesatuan utuh, tetapi dalam prakteknya keduanya tidak begitu saja ditemukan. Novel yang matang dalam isi dan mantap dalam bentuk membutuhkan waktu dalam proses penciptaannya. Sebuah novel harus hidup karena bagian dari kehidupan, tumbuh dari fase benih ke bunga ke buah yang matang untuk dipetik. Sehingga kadang-kadang hasil jadinya menjadi lain sama sekali dari konsep awalnya.
            Karya sastra tidak hanya berupa naskah atau buku yang berwujud terbitan, akan tetapi terutama suatu proses interaksi mulai dari saat penulis terkena benih hasrat ingin menyampaikan sesuatu, sampai pada fase kritik dan kontra kritik hasil jadi, sehingga acara bersastra sangatlah luas penuh variasi. Dari semua itu, proses kreasi pada dasarnya sudah dimulai jauh pada usia sangat awal ketika masih anak-anak. Segala macam hal muncul dari kepenuhan pikiran maupun cita-cita, sering dari pijar-pijar intuisi. Namun, intuisi pun tidak muncul secara tiba-tiba. Ilham penulis sebenrnya mengandaikan bahwa sebelumnya muatan jiwanya telah penuh berkat penghaytannya pada kehidupan. Sebab sastra sejati selalu datang dari kepenuhan hidup nyata yang dihayati secara mendalam.
            YB Mangunwijaya juga mengungkapkan bahwa kegiatan menulis yang ia lakukan merupaka hasil yang pagi-pagi ditanam orang tuanya dan kubang-kubang lingkungan hidup masa kanak-kanak di SD yang telah menjadi penumbuh fantasi, imajinasi, daya pikir dan pendalaman cita rasa, untuk selanjutnya dikomunikasikan dan diekspresikan.
            YB Mangunwijaya menyatakan bahwa tokoh-tokoh dalam karyanya mengundang simbolisasi yang lebih dalam dari sekedar perkenalan karakter. Meskipun demikian YB Mangunwijaya menekankan bahwa bagaimanapun lambang-lambang yang ada dalam novelnya hanyalah lambang, yang terpenting adalah perenungan dan tafsiran dari pembaca novel itu sendiri.
            Novel-novel YB Mangunwijaya seperti Roro Mendut, Burung-burung Manyar dll mempunyai makna tersirat di dalamnya. Melalui novel-novelnya, YB Mangunwijaya mengungkapkan secara ekspresif keindonesiaannya. Ia tidak akan keberatan menerima predikat novel gaya wayang untuk novel-novelnya., karena memang setiap tokoh dalam novelnya baik karakter maupun penamaannya mengandung makna. Tiap novelnya bukan hanya sebagai karya estetis, kejutan inovatif, atau sekedar informasi, lebih dari itu merupakan transformasi, agar manusia makin mengenal dirinya, sekeliling dan semesta.

I.       Muhammad Ali (Enggan Menjadi Pedagang)

Muhammad Ali mulai menggeluti dunia karang mengarang tahun 1942. Kepengarangannya dimulai dengan kegemarannya membaca yang akhirnya tertarik menulis sajak dan cerita. Ia tertarik menekuni dunia karang-mengarang menurutnya mungkin karena takdir atau tak punya pilihan lain. Bahkan mungkin karena sifat malasnya atau semacam keinginan untuk bermalas-malasan dan sekaligus bisa menikmati hidup. Menurutnya dunia mengarang menjanjikan kemungkinan-kemungkinan ke arah itu, yaitu untuk menghirup sepuas-puasnya keutuhan manusiawi. Satu hal yang pasti adalah dia tertarik dengan dunia mengarang. Ia ingin menjadi sesuatu yang punya arti, melakukan sesuatu yang baik dan menandai hidup dengan goresan tebal dan nyata. Walaupun setelah nyata menjadi sastrawan ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Namun pilihan itu telah jatuh, ia harus melangkah terus. Hal ini pulalah yang memunculkan kekuatirannya akan kehilangan daya dan kegairahan untuk bisa berkarya. Hal pertama yang dilakukannya ketika ingin menulis adalah mencoba mencari bentuknya yang paling cocok.
            Cerpen-cerpen yang berhasil ia tulis diantaranya Kalung, Buku Harian Seorang Penganggur, Pohon Pepaya dan Bondet, keempatnya mengandung kritik sosial. Dalam menggarap novel, Muhammad Ali tidak menyelesaikan secara tuntas masalah yang ia kemukakan, sehingga dapat membuka imajinasi pembaca. Menurutnya pembaca harus bebas untuk terlibat aktif pada masalah dalam cerita.
            Dalam kaitannya dengan masalah kritik, Muhammad Ali menyatakan bahwa kritik pada umumnya adalah baik, perlu dan berguna selama kritik itu wajar dan sehat. Mereka yang menutup diri dari kritik akan menyesali ketertutupan mereka dikemudian hari.   

J.      Ramadhan K. H. (Keadaan Lingkungan : Sumur Tempat Menimba)
“ Royan Revolusi “ merupakan roman Ramadhan K. H. Yang setelah melalui proses perjuangan yang begitu panjang, akhirnya terpilih sebagai juara pertama sayembara UNESCO/ IKAPI (1968) dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Perancis ketika ia pindah ke Perancis di tahun 1974, walaupun ia tak menerima satu franc pun dari hasil tulisannya itu.
Ramadhan K.H. mengenal dunia seni, termasuk seni menulis dari saudaranya seayah, K. Hadimadja yang sering ia panggil dengan Aoh yang selanjutnya mengenalkannya pada buku-buku dari barat. Waktu duduk di SMP beruntung ia mendapatkan guru yang cocok untuk mengembangkan bakatnya menulis. Langkah pertamanya untuk duduk dalam redaksi majalah, ia lakukan melalui penerbitan majalah Serodja.
Dorongan yang membuatnya berusaha keras di bidang penerbitan adalah hasrat untuk menyalurkan isi hati dan buah pikirannya. Sebelum memuat karyanya di majalh, biasanya Ramadhan meminta pertimbangan dari teman yang ia anggap cukup kritis.
Pekerjaannya selama tiga belas tahun sebagai wartawan di kantor berita Antara membuat ia dapat dengan cepat mengetahui keadaan yang sebenarnya ditengah kehidupan kita sehari-hari. Menurutnya, jika seseorang mampu di dua jenis penulisan yaitu tulisan yang dikurung oleh batas-batas kebenaran (berita) dan tulisan yang diberi keluasaan sampai melampaui batas-batas kenyataan, maka ia akan dapat memikat pikiran dan perasaan pembaca ke dua jenis tulisan itu. Keadaan lingkungan yang ia lihat ditambah dengan pengetahuan di lapangan sebagai wartawan merupakan tulang punggung karya-karya sastra Ramadhan K.H. , keadaan lingkungan menjadi sumur tempat Ramadhan menimba.
Ramadhan mengaku tidak begitu suka teori sastra. Teori sastra ia anggap sebagai penggambaran selera sastra pembuat teoriitu saja. Setiap kritik atas karyanya selalu ia pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Ia menulis dengan cara membuat catatan-catatan kecil yang baginya sependek apapun catatan itu, merupakan noktah yang bagus sebagai rangsang untuk menulis naskah yang lebih panjang. Ia juga sering menggunakan karya-karya sastra yang dianggapnya menarik sebagai perbendaharaannya diri menulis. Sekarang menulis baginya adalah sebuah kebutuhan rohani untuk menyatakan reaksinya terhadap keadaan sekelilingnya. Walaupun sebelumnya untuk dapat menulis fiksi yang bersifat sastra, ia membutuhkan waktu yang cukup lama. Keberangkatannya ke Eropa, memungkinkannya untuk menemukan dan membaca lebih banyak karangan sastrawan-sastrawan besar yang telah ia kenal sebelumnya, seperti pengarang-pengarang Rusia, Perancis, Inggris, dan Jepang.
Sebagian tulisan-tulisannya muncul dengan didorong rasa cinta yang mendalam pada tanah kelahiran dan semangat anti penderitaan, anti kezaliman, anti penyelewengan cita-cita semasa merebut kemerdekaan. Ia mengaku memilih jalan hidup secara intens dalam masyarakat dengan terlibat dalam persoalan-persoalan (besar) bangsa Indonnesia. Ia menyenangi dunia kepengarangannya dan tidak menyesal menjadi seorang pengarang.
 
K.    Utuy T. Sontani (Mengapa Mengarang*)
Ketertarikan Utuy untuk mengarang salah satunya diawali oleh ketertarikannya kepada gadis anak seorang amtenar sekaligus murid sekolah Hollands Indlanse School. Paman gadis itu adalah seorang redaktur di surat kabar Sinar Pasundan. Ayah Utuy diminta untuk menyebarkan surat kabar tersebut agar dibaca orang-orang Cianjur. Setiap hari Utuy membaca segala yang tercetak dalam surat kabar tersebut terutama tulisan-tulisan paman tetangganya itu. Sore yang tak terduga, gadis itu datang menemui Utuy dengan membawa kiriman dari pamannya berupa dua helai buku berjudul Pelarian dari Digul. Isinya sangat menarik hati Utuy apalagi dengan tokoh utamanya yang pemberani bernama Sontani. Bermula dari itu, Utuy berniat untuk mendekati paman si gadis dengan membuat cerita-cerita agar paman maupun si gadis kagum kepadanya. Mulailah Utuy menulis sebuah cerita dengan maksud akan dikirimkan kepada paman si gadis agar dimuat di surat kabar. Utuy menggunakan nama samaran Sontani agar tersembunyi bagi orang lain, tetapi bisa diketahui si gadis. Sejak itu nama Sontani terus menghiasi Koran Sinar Pasundan dengan cerpen-cerpen dan sajak-sajaknya.
Utuy bersama keluarganya pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke sekolah Taman Dewasa. Baru empat bulan menjadi murid sekolah Taman Dewasa Utuy berhenti sekolah karena usaha restoran ayahnya rugi. Setelah itu, orang tua Utuy bercerai dan Utuy kembali ke Cianjur bersama ibunya. Keberadaan Utuy di Cianjur hanya membuat dia semakin sakit hati saja dengan keadaan si gadis yang bertolak belakang dengan dirinya. Akhirnya Utuy dan Ibunya kembali ke Bandung untuk mencari pekerjaan. Dua tahun Utuy tinggal di Bandung si gadis menikah dengan seorang pegawai pegadaian yang dulu merupakan teman sekelasnya. Tapi ditahun itu juga dua karangan Utuy diterbitkan secara bersamaan sebagai feuilleton; Mahala Bapak di surat kabar Sinar Pasundan dan Tambera di surat kabar Sipatahunan. Tambera adalah suatu karangan yang dapat menyebabkan Utuy dinamakan pengarang. Utuy mengarang dan lalu dinamakan pengarang karena Utuy merasakan adanya sesuatu yang mengharukan sebagai tantangan yang mesti dijawab. Dan karangannya adalah jawaban atas tantangan tersebut.


L.     Achdiat K. Mihardja (Pencipta Versus Pengkritiknya)
Atheis merupakan salah satu roman karya Achdiat yang sejak lahirnya tahun 1949 terus mengundang interpretasi. Banyak orang bertanya, mengapa Atheis banyak menarik perhatian orang. Jelas bahwa memang isi buku itu yang membuat buku itu (apa yang Achdiat sebut) Poly-interpretable dan kadang-kadang kontroversial. Di samping banyak yang memuji, dengan sendirinya ada pula yang mencela. Beberapa kekecewaan telah dikemukakan, masing-masing pihak menginginkan supaya pendirian dan ideologinya lebih kuat dikemukakan. Achdiat menegaskan bahwa Atheis adalah cerita yang realistis, bukan simbolis. Pernyataan Achdiat ini sekaligus meluruskan adanya kekeliruan antara pembaca dan kritikus yang menganggap bahwa kematian Hasan sebagai suatu simbol atau perlambang dari kematian theisme. Selanjutnya ada juga orang yang bertanya, mengapa aliran pikiran agnostisisme tidak dibahas dalam Atheis. Achdiat menjelaskan bahwa pentingnya dan menariknya roman letaknya terutama dalam ceritanya yang realistis (bukan simbolis), yang biasanya terikat pada sesuatu setting yang mencakup masyarakat dan zaman tertentu. Yang dianggap paling penting dan paling utama oleh pengarang adalah kebenaran estetis yang ditetapkan oleh bentuk yang efektif.
Di samping mengenai soal isi, orang mengemukakan pula pendapatnya tentang hal dan bentuk dan susunan cerita Atheis itu. Dalam bagian-bagian yang merupakan naskah Hasan itu, jelas bahwa tokoh utama yang diceritakan oleh “aku” adalah dirinya sendiri, yaitu Hasan. Dengan demikian, cara yang dipakai dalam bagian tersebut adalah autobiographical method / point of view of the first person / “gaya aku”. “Saya” dalam kedua bagian itu tidak mengambil “gaya aku” lagi, melainkan cara lain yaitu the eye of God method / omniscient (= mahatahu) point of view / “gaya dia” / “gaya orang ketiga”. Maksud Achdiat menggunakan dua “gaya” untuk satu cerita adalah untuk mempertahankan keutuhan plotnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar