Buku
karya Pamusuk Eneste yang berjudul Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang
merupakan buku yang berisi tentang latar belakang dan cara mengarang seorang
sastrawan. Dalam buku ini ditulis tentang dua belas sastrawan Indonesia.
A. Linus Suryadi AG ( Etos Kreatif dan Proses
Kreatif)
Semenjak kecil
Linus tidak mempunyai tradisi membaca. Dia lebih sering
mengembara kambing dan kerbau.
Cita-citanya juga bukan sebagai penyair, melainkan sebagai tentara. Linus
pernah bersekolah di Akademi Bahasa Asing dan di Sanata Dharma keduanya di
Jurusan Sastra Inggris, namun keduanya sama-sama tidak tamat karena bosan.
Linus pun tak punya aktivitas dan hanya menganggur saja. Karena hanya
menganggur akhirnya menulis puisi saja.
Linus berkenalan dengan sastra Indonesia
Modern saat membaca majalah Horison milik temannya. Pernah suatu hari Linus
diajak temannya ke kantor mingguan Pelopor Yogya. Dia pun mencoba berkali-kali
mengirimkan beberapa puisi ke surat kabar mingguan tersebut namun tidak dimuat.
Linus pun membandingkan puisinya dengan puisi-puisi Rendra, Chairil Anwar dll.
Setelah dibandingkan dia merasa puisinya jelek dan kemudian memperbaikinya.
Akhirnya sajaknya yang berjudul Alibi muncul di Pelopor Yogya.
Linus menulis puisi
biasanya pada waktu malam hari dan pada waktu bulan-bulan tertentu yakni pada
bulan yang berakhir “mber” September-Desember.
Pernah dia menulis
selain pada bulan itu, namun puisinya jelek. Dia menulis puisi juga merupakan
hasil inspirasi dari kejadian-kejadian nyata yang dikembangkan. Jalan tugu
Jogja sampai Malioboro inilah tempat kegemaran Linus untuk mencari inspirasi
menulis puisi. Misalnya sajaknya yang berjudul Memanggil, dia terinspirasi dari
seorang wanita cantik yang memanggilnya di jalan Malioboro. Contoh lain prosa
lirik yang berjudul Pengakuan Pariyem, dia terinspirasi dengan wabah paceklik
di Gunung kidul, sehingga banyak orang yang pergi ke kota dan salah satu dari
banyak orang itu adalah Pariyem seorang janda muda.
B.
Darmanto Jatman ( Hanya Daun, Cuma Daun)
Darmanto dilahirkan pada keluarga yang mempercayai
kecerdasan dan iman.
Darmanto suka ikut koor di gereja dan menyanyikan lagu amung godhong
/ hanya daun. Ungkapan ”hanya daun” banyak tergores dalam sajak-sajaknya.
Darmanto menempatkan ”rasa” sebagai hal yang penting yang mampu membuatnya
menulis. Dalam menulis sajak dia tidak hanya membaca sajak-sajak Chairil,
Rendra, tetapi juga membaca esai-esai teori maupun kritik sastra. Dia juga
berpendapat bahwa sajak itu merupakan bagian dari caranya menghadirkan
pengalaman otentik dalam bahasa yang indah.
Darmanto tidak pernah
masuk fakultas sastra, tetapi dia malah masuk fakultas teologi karena ingin
memahami hidup. Kemudian dia melanjutkan ke fakultas psikologi karena ingin
bisa lebih memahami manusia dan manusialah yang menjadi ob sbyek dalam
sajak-sajaknya.
Darmanto pernah menggugat
struktur nilai dalam persajakan Indonesia yang piramidal sifatnya, dengan Horison
sebagai puncaknya. Suatu struktur yang menurutnya otoriter dan tidak
menguntungkan untuk perkembangan sajak Indonesia yang mulai kurang warna.
Darmanto pernah juga memperluas room for manouver untuk publikasi puisi
di media massa daerah dengan menyelenggarakan Pertemuan Redaksi-redaksi Budaya
di Semarang.
C.
Titis Basino P.I (Bergurau atau Mencela
lewat Mesin Ketik)
Titis menulis ketika muda
hanya sekedar memenuhi tugas guru sekolah. Ada
sesuatu yang beda dari tulisannya bila dibanding dengan teman-temannya,
yaitu tulisannya yang selalu langsung pada persoalan kemudian dampak dari
persoalan itu. Titis senang menulis tentang guru-guru yang diagungkan pada masa
itu. Tentu saja guru-gurunya tersinggung, namun dampak baiknya mereka malah
berusaha untuk memperbaiki sifat-sifatnya. Semenjak mudapun Titis tak pernah
terbayang bisa hidup dari karangan.
Titis berkeinginan mengisi
majalah sastra saat ada waktu senggang,
atau sekedar
membunuh waktu. Titis menulis dengan
sebuah mesin ketik usang milik temannya. Dia menulis tentang kehidupan
disekitarnya. Saat mengirim karyanya ke majalah, dia selalu mengacuhkan soal
honor, yang terpenting baginya adalah menulis sekedar membunuh waktu dan
menyampaikan pesan pada orang-orang.
Titis berpendapat bahwa
seorang pengarang harus lepas dari keadaan dirinya, agar bisa menempati
perasaan tokoh yang sedang ditulis. Kadang Titis mengetik tanpa aturan, dari
tepi satu ke tepi yang lain, bahkan tanpa spasi. Setelah dia koreksi, baru dia
memanggil tukang ketik dan dia ajari bagaimana menulis sesuai kemauannya. Titis
banyak menulis cerpen yang serba menggelitik kaum adam, karena hanya dengan
mesin ketik dia bisa berbuat semaunya dengan ”aman”.
D.
Saini K.M (Kreativitas sebagai
Konfrontasi)
Penulis Saini K. M dilahirkan bukan saja di dalam keluarga yang dekat
dengan kesenian, bahkan di kampung yang menonjol di bidang keseniannya, seperti
karawitan, wawacan, hingga cerita-cerita wayang. Walaupun persinggungannya
dengan kesenian umum dan sastra daerah terjadi sejak ia masih kanak-kanak,
tumbuhnya minat dan keterlibatannya dalam sastra Indonesia dimulai sejak ia
duduk di kelas enam Sekolah Rakyat. Ia belajar sastra dengan membaca buku-buku
karya Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar milik kakak perempuannya yang
telah duduk di kelas dua SMP. Di saat remaja, ia banyak dimintai bantuan oleh
teman-temannya untuk membuat naskah pidato, menyusun acara kesenian, hingga
menulis naskah drama untuk acara akhir liburan.
Ia banyak mengungkapkan protes-protes sosial dalam kumpulan sajak-sajaknya.
Kekacauan baginya adalah kesenjangan antara kenyataan dan impian. Hal inilah
yang kemudian menjadi dasar bagi Saini dalam menuliskan sajak-sajaknya.
Saini menyatakan bahwa ia telah melakukan pengembaraan rohani. Pada bagian
awal, ia menentukan sikap terhadap masalah-masalah sosial dalam bentuk protes. Kemudian,
kesadaran akn tidakberdayaannya dalam menghadapi masalah-masalah sosial itu
menyebabkan ia berubah dan ragu terhadap asas etiknya.
Dalam hal seniman, menurut Saini reativitas terletak pada keberhasilan
mewujudkan visi dalam bentuk karya. Panggilan hidupnya ialah menerjemahkan
visinya kedalam bentuk lambang-lambang. Akibatnya, bagi seniman, kreatiitas
berarti konvontrasi ganda, disatu pihak ia berkonvontrasi dengan kehidupan,
dipihak lain dengan medium atau media yang harus diolahnya menjadi
lambang-lambang itu. Bahasa sebagai medium kesenian bagi seorang penulis
memiliki kehidupan dan dinamikanya sendiri. Oleh karena itu, konvontrasi
dengannya lebih berarti pengolahan dan pengendalian dari pada penggunaan atau
eksploitasi.
Menurutnya menulis dapat
ditafsirkan sebagai usaha menerobos dinding-dinding kesepian. Dengan menulis,
seorang pengarang membangun jembatan hubungan dengan orang lain yang
selanjutnya diharapkan hubungan ini dapat menyentuh kesadaran pembacanya.
Sentuhan itu dapat berupa tanggapan awam atau telaah kritikus. Apapun
bentuknya, sentuhan itu mengurangi beban kesunyian dalam suatu perjalanan dan
pengembaraan spiritual.
E. Rendra
(Proses Kreatif Saya sebagai Penyair)
Rendra sebagai
seniman mempunyai pengalaman melakoni dan menghayati perkembangan “bentuk seni”
yang beragam yang mampu melayani kebutuhan dinamisme isi rohani dan pikirannya.
Waktu remaja, rohani dan pikiran rendra asyik melebur ke dalam alam dengan
hukum alam dan gejala-gejala alam serta tertarik kepada penghayatan alam
dongeng, legenda, dan metodologi. Rendra sering berada dalam keadaan trance
atau stoned karena kesadaran di luar perbendaharaan kebudayaan sehari-hari, di
luar akal sehat pada umumnya. Hal tersebut terlihat pada kumpulan sajak Rendra,
Balada Orang-orang Tercinta, Nyanyian dari Jalanan, Sajak-sajak Duabelas Perak,
dan Malam Stanza.
Permulaan
tahun-tahun mahasiswa, Rendra yang masih dalam keadaan rohani dan pikiran yang
stoned, jatuh cinta dan menikah. Peristiwa jatuh cinta dan pernikahan mendorong
Rendra untuk lebih menyadari peristiwa hidup dan mati dalam alam. Dalam periode
ini lahir sajak-sajak Rendra, Kakawin Kawin dan Masmur Mawar.
Pada waktu
Indonesia sedang terjadi pergolakan Sosial, Politik, dan Ekonomi yang besar,
Rendra menghasilkan Sajak-sajak Sepatu Tua. Baru. Setelah tahun 1964 Rendra
pergi ke Amerika Serikat dan tinggal selama tiga setengah tahun. Perubahan dari
alam stoned berubah ke alam common-sense ternyata tidak mudah. Dalam ketegangan
kreatif, lahirlah Blues Untuk Bonie yang tidak merumuskan persoalan
Sosial-Politik, tetapi persoalan Moral dan Common-sense.
Dari tahun 1971
sampai 1978 Rendra hanya menghasilkan beberapa sajak yang dikumpulkan dalam
Potret Pembangunan dalam Puisi. Ketika dibacakan dimuka umum, ternyata sambutan
umum sangat baik. Hal ini menurut Rendra merupakan usaha artistik yang
berhasil. Sebab jembatan antara seniman dengan khalayak ramai hanyalah kekuatan
bentuk seni. Khalayak ramai adalah alat penunjuk suksesnya “Bentuk Seni” yang
lebih baik daripada kritikus. Sebab khalayak ramai selalu punya kenyataan
kehidupan yang akan dipakai untuk mengukur relevansi “Bentuk Seni” maupun “Isi
Seni”. Sedangkan kritikus hanya punya teori seni dan selera seni yang
kadang-kadang aneh karena sudah jauh terlepas dari kenyataan kehidupan manusia
secara lahir maupun mental.
F.
B. Soelarto
(Didorong oleh Percintaan)
B.
Soelarto baru merasa “mampu” menulis cerpen pada tahun 1956 ketika masih studi
di SMA-A Negeri Semarang, ketika cerpennya dimuat di ruang “Gelanggang” majalah
Siasat. Yang mendorong B. Soelarto
menulis cerpen-cerpen adalah keinginan untuk lebih banyak tahu tentang
percintaan. Pengalaman bercinta menjadi sumber inspirasinya selama
bertahun-tahun dan sampai awal dasawarsa 60-an, warna dominan dalam
tulisan-tulisan adalah warna percintaan.
Pertama kali B. Soelarto
menulis cerpen yang tidak diwarnai percintaan adalah ketika B. Soelarto melihat
dari dekat suatu peristiwa penodongan dalam sebuah oplet di Jakarta dan
kemudian dimuat dalam majalah Mimbar
Indonesia. B. Soelarto memandang peristiwa-peristiwa sosial itu sebagai
sketsa-sketsa kehidupan, sehingga ia cenderung unuk menulis cerpen-cerpen
sebagai snapshots dengan teknik
penulisan cerpen gaya sketsa.
Awal
dasawarsa 60-an, B. Soelarto tertarik pada dunia lakon dan memimpin suatu grup
pecinta teater bernama “Gaya dinamika” kemudian juga tertarik untuk mencoba
menulis sebuah lakon bergaya sketsa guna dipentaskan. Lakon bergaya sketsa yang
diberi judul karikatural “Domba-domba Revolusi” dimuat dalam majalah Sastra dan memperoleh Hadiah Sastra dari
majalah Sastra. Dengan garang dari
kubu Lekra/ PKI mencap lakon tersebut sebagai karya “Kontra Revolusi” yang
identik dengan pengkhianat pada zaman
Nasakom. ”Catatan Tahun 60” adalah judul kumpulan cerpen B. Soelarto tentang
peristiwa-peristiwa sosial di Semarang dan dua diantaranya yaitu cerpen “Tanah”
dan cerpen “Rapat Perdamaian” yang juga mendapatkan kecaman dari PKI tetapi
juga meraih Hadiah Sastra dari majalah Sastra.
Antara
tahun 1962 hingga awal tahun 1965, B. Soelarto berhasil merampungkan tiga lakon
lagi dan belasan cerpen. Namun ia terjangkit penyakit TBC, walaupun begitu
tetapi ada dua hal yang membuat B. Soelarto masih tetap bisa tersenyum yaitu
dengan kunjungan rutin Iwan Simatupang, lewat surat-suratnya dan juga kunjungan
sobat-sobat yang selalu meramaikan gubuknya yang berdinding anyaman bambu kumuh
dengan seringnya diskusi.
Walaupun
B. Soelarto simpati terhadap kelompok “Manifes Kebudayaan” tetapi tetap
konsisten pada pendiriannya yang akan mandiri tanpa bernaung pada kelompok
manapun. B. Soelarto pun mempunyai tekad yang akan menuruti panggilan nurani
untuk terus menulis, sampai akhir hayat.
G. Toeti Heraty (Usaha Penelusuran Proses
Kreatif)
Untuk menelusuri proses kreatif
sendiri, ada dua syarat yang mesti dipenuhi dahulu bagi Toeti Heraty, yaitu konsentrasi
perhatian introspektif serta minat narsistik. Kesulitan yang dihadapi Toeti
adalah karena sudah terlanjur dijangkiti oleh teori tentang kreativitas
Koestler, yang beranggapan bahwa dalam kreativitas dapat memperhatikan tiga
bidang,yaitu kreativitas humor, kreativitas ilmu pengetahuan, dan kreativitas
seni. Titik tolak penelusuran kreativitas bertolak dari posisi mengamati,
menyingkir dari medan action, tidak menjadi pelaku tetapi berdiri di pinggir
dalam posisi marjinal. Dengan
berbagai minat dan kegiatan yang bermacam-macam dan diikuti oleh Toeti Heraty
itulah yang memberi dasar pemahaman luas dan mendasar.
Ketika menghadapi publik secara
tatap muka dengan menjadi pembicara pasti
reaksi public cukup menunjang dan mendukung. Tetapi ketika diminta agar makalah
diterbitkan pasti akan mengecewakan karena sifatnya yang abstrak,padat dan
impersonal. Oleh karena itu, Toeti Heraty merasa kurang cocok kalau menulis
novel karena kurang sabar dalam pemaparan.
Bagi Toeti Heraty penulisan sajak
bukan penulisan dalam arti sesungguhnya tetapi kesan-kesannya. Pertama kali
sajak-sajak Toeti Heraty dimuat di majalah Horison
pada tahun 1967 dengan ulasan Subagio yang ramah apresiatif dan juga esei
Toeti tentang eksistensialisme yang dimuat dalam eksemplar Horison yang sama.
Belum sempat identitas sebagai
penyair diperoleh, tiba-tiba oleh harian Sinar
Harapan menyebutnya sebagai bekas penyair. Meskipun demikian ia tetap
terima dan juga hadir pada undangan membaca sajak di Rotterdam, Iowa, TIM,
Erasmus Huis, dan Lembaga Indonesia Amerika. Kesempatan-kesempatan langka yang
tidak ia ari ini sesuai dengan penulisan langka sekitar total delapan puluh
sajak, yang bermodalkan keharusan. Bagi Toeti Heraty ada rasa lega dan tenang
dalam berakhirnya monolog pencatatan sajak ini.
H.
Y.B Mangunwijaya (Pengakuan Seorang
Amatir)
Novel-novel YB. Mangunwijaya dibuat
melalui proses serba tumbuh, dari
gagasan awal sampai siap terbit melalui trill and error. Menurut
pengakuannya hal ini disebabkan karena dalam bidang sastra, ia masih seorang
pemula. Menurutnya, unsur yang paling menentukan dalam sastra adalah ide dan
bentuk, keduanya merupakan satu kesatuan utuh, tetapi dalam prakteknya keduanya
tidak begitu saja ditemukan. Novel yang matang dalam isi dan mantap dalam
bentuk membutuhkan waktu dalam proses penciptaannya. Sebuah novel harus hidup
karena bagian dari kehidupan, tumbuh dari fase benih ke bunga ke buah yang
matang untuk dipetik. Sehingga kadang-kadang hasil jadinya menjadi lain sama
sekali dari konsep awalnya.
Karya sastra tidak hanya
berupa naskah atau buku yang berwujud terbitan, akan tetapi terutama suatu
proses interaksi mulai dari saat penulis terkena benih hasrat ingin
menyampaikan sesuatu, sampai pada fase kritik dan kontra kritik hasil jadi,
sehingga acara bersastra sangatlah luas penuh variasi. Dari semua itu, proses
kreasi pada dasarnya sudah dimulai jauh pada usia sangat awal ketika masih
anak-anak. Segala macam hal muncul dari kepenuhan pikiran maupun cita-cita,
sering dari pijar-pijar intuisi. Namun, intuisi pun tidak muncul secara
tiba-tiba. Ilham penulis sebenrnya mengandaikan bahwa sebelumnya muatan jiwanya
telah penuh berkat penghaytannya pada kehidupan. Sebab sastra sejati selalu
datang dari kepenuhan hidup nyata yang dihayati secara mendalam.
YB Mangunwijaya juga
mengungkapkan bahwa kegiatan menulis yang ia lakukan merupaka hasil yang
pagi-pagi ditanam orang tuanya dan kubang-kubang lingkungan hidup masa
kanak-kanak di SD yang telah menjadi penumbuh fantasi, imajinasi, daya pikir
dan pendalaman cita rasa, untuk selanjutnya dikomunikasikan dan diekspresikan.
YB Mangunwijaya menyatakan
bahwa tokoh-tokoh dalam karyanya mengundang simbolisasi yang lebih dalam dari
sekedar perkenalan karakter. Meskipun demikian YB Mangunwijaya menekankan bahwa
bagaimanapun lambang-lambang yang ada dalam novelnya hanyalah lambang, yang
terpenting adalah perenungan dan tafsiran dari pembaca novel itu sendiri.
Novel-novel YB
Mangunwijaya seperti Roro Mendut, Burung-burung Manyar dll mempunyai makna
tersirat di dalamnya. Melalui novel-novelnya, YB Mangunwijaya mengungkapkan
secara ekspresif keindonesiaannya. Ia tidak akan keberatan menerima predikat
novel gaya wayang untuk novel-novelnya., karena memang setiap tokoh dalam
novelnya baik karakter maupun penamaannya mengandung makna. Tiap novelnya bukan
hanya sebagai karya estetis, kejutan inovatif, atau sekedar informasi, lebih
dari itu merupakan transformasi, agar manusia makin mengenal dirinya,
sekeliling dan semesta.
I.
Muhammad Ali (Enggan Menjadi Pedagang)
Muhammad Ali mulai menggeluti dunia karang
mengarang tahun 1942. Kepengarangannya dimulai dengan kegemarannya membaca yang
akhirnya tertarik menulis sajak dan cerita. Ia tertarik menekuni dunia
karang-mengarang menurutnya mungkin karena takdir atau tak punya pilihan lain.
Bahkan mungkin karena sifat malasnya atau semacam keinginan untuk
bermalas-malasan dan sekaligus bisa menikmati hidup. Menurutnya dunia mengarang
menjanjikan kemungkinan-kemungkinan ke arah itu, yaitu untuk menghirup
sepuas-puasnya keutuhan manusiawi. Satu hal yang pasti adalah dia tertarik
dengan dunia mengarang. Ia ingin menjadi sesuatu yang punya arti, melakukan
sesuatu yang baik dan menandai hidup dengan goresan tebal dan nyata. Walaupun
setelah nyata menjadi sastrawan ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.
Namun pilihan itu telah jatuh, ia harus melangkah terus. Hal ini pulalah yang
memunculkan kekuatirannya akan kehilangan daya dan kegairahan untuk bisa
berkarya. Hal pertama yang dilakukannya ketika ingin menulis adalah mencoba mencari
bentuknya yang paling cocok.
Cerpen-cerpen yang
berhasil ia tulis diantaranya Kalung, Buku Harian Seorang Penganggur, Pohon
Pepaya dan Bondet, keempatnya mengandung kritik sosial. Dalam menggarap novel,
Muhammad Ali tidak menyelesaikan secara tuntas masalah yang ia kemukakan,
sehingga dapat membuka imajinasi pembaca. Menurutnya pembaca harus bebas untuk
terlibat aktif pada masalah dalam cerita.
Dalam kaitannya dengan
masalah kritik, Muhammad Ali menyatakan bahwa kritik pada umumnya adalah baik,
perlu dan berguna selama kritik itu wajar dan sehat. Mereka yang menutup diri
dari kritik akan menyesali ketertutupan mereka dikemudian hari.
J. Ramadhan K. H. (Keadaan Lingkungan : Sumur
Tempat Menimba)
“ Royan Revolusi
“ merupakan roman Ramadhan K. H. Yang setelah melalui proses perjuangan yang
begitu panjang, akhirnya terpilih sebagai juara pertama sayembara UNESCO/ IKAPI
(1968) dan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Perancis ketika ia pindah ke
Perancis di tahun 1974, walaupun ia tak menerima satu franc pun dari hasil
tulisannya itu.
Ramadhan K.H. mengenal dunia
seni, termasuk seni menulis dari saudaranya seayah, K. Hadimadja yang sering ia
panggil dengan Aoh yang selanjutnya mengenalkannya pada buku-buku dari barat.
Waktu duduk di SMP beruntung ia mendapatkan guru yang cocok untuk mengembangkan
bakatnya menulis. Langkah pertamanya untuk duduk dalam redaksi majalah, ia
lakukan melalui penerbitan majalah Serodja.
Dorongan yang
membuatnya berusaha keras di bidang penerbitan adalah hasrat untuk menyalurkan
isi hati dan buah pikirannya. Sebelum memuat karyanya di majalh, biasanya
Ramadhan meminta pertimbangan dari teman yang ia anggap cukup kritis.
Pekerjaannya
selama tiga belas tahun sebagai wartawan di kantor berita Antara membuat ia
dapat dengan cepat mengetahui keadaan yang sebenarnya ditengah kehidupan kita
sehari-hari. Menurutnya, jika seseorang mampu di dua jenis penulisan yaitu
tulisan yang dikurung oleh batas-batas kebenaran (berita) dan tulisan yang
diberi keluasaan sampai melampaui batas-batas kenyataan, maka ia akan dapat
memikat pikiran dan perasaan pembaca ke dua jenis tulisan itu. Keadaan
lingkungan yang ia lihat ditambah dengan pengetahuan di lapangan sebagai
wartawan merupakan tulang punggung karya-karya sastra Ramadhan K.H. , keadaan
lingkungan menjadi sumur tempat Ramadhan menimba.
Ramadhan mengaku
tidak begitu suka teori sastra. Teori sastra ia anggap sebagai penggambaran
selera sastra pembuat teoriitu saja. Setiap kritik atas karyanya selalu ia
pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Ia menulis dengan cara membuat
catatan-catatan kecil yang baginya sependek apapun catatan itu, merupakan
noktah yang bagus sebagai rangsang untuk menulis naskah yang lebih panjang. Ia
juga sering menggunakan karya-karya sastra yang dianggapnya menarik sebagai
perbendaharaannya diri menulis. Sekarang menulis baginya adalah sebuah
kebutuhan rohani untuk menyatakan reaksinya terhadap keadaan sekelilingnya.
Walaupun sebelumnya untuk dapat menulis fiksi yang bersifat sastra, ia
membutuhkan waktu yang cukup lama. Keberangkatannya ke Eropa, memungkinkannya
untuk menemukan dan membaca lebih banyak karangan sastrawan-sastrawan besar
yang telah ia kenal sebelumnya, seperti pengarang-pengarang Rusia, Perancis,
Inggris, dan Jepang.
Sebagian
tulisan-tulisannya muncul dengan didorong rasa cinta yang mendalam pada tanah
kelahiran dan semangat anti penderitaan, anti kezaliman, anti penyelewengan
cita-cita semasa merebut kemerdekaan. Ia mengaku memilih jalan hidup secara
intens dalam masyarakat dengan terlibat dalam persoalan-persoalan (besar)
bangsa Indonnesia. Ia menyenangi dunia kepengarangannya dan tidak menyesal
menjadi seorang pengarang.
K. Utuy T. Sontani (Mengapa Mengarang*)
Ketertarikan
Utuy untuk mengarang salah satunya diawali oleh ketertarikannya kepada gadis
anak seorang amtenar sekaligus murid sekolah Hollands Indlanse School. Paman
gadis itu adalah seorang redaktur di surat kabar Sinar Pasundan. Ayah Utuy
diminta untuk menyebarkan surat kabar tersebut agar dibaca orang-orang Cianjur.
Setiap hari Utuy membaca segala yang tercetak dalam surat kabar tersebut
terutama tulisan-tulisan paman tetangganya itu. Sore yang tak terduga, gadis
itu datang menemui Utuy dengan membawa kiriman dari pamannya berupa dua helai
buku berjudul Pelarian dari Digul. Isinya sangat menarik hati Utuy apalagi
dengan tokoh utamanya yang pemberani bernama Sontani. Bermula dari itu, Utuy
berniat untuk mendekati paman si gadis dengan membuat cerita-cerita agar paman
maupun si gadis kagum kepadanya. Mulailah Utuy menulis sebuah cerita dengan
maksud akan dikirimkan kepada paman si gadis agar dimuat di surat kabar. Utuy
menggunakan nama samaran Sontani agar tersembunyi bagi orang lain, tetapi bisa
diketahui si gadis. Sejak itu nama Sontani terus menghiasi Koran Sinar Pasundan
dengan cerpen-cerpen dan sajak-sajaknya.
Utuy bersama
keluarganya pindah ke Bandung untuk melanjutkan ke sekolah Taman Dewasa. Baru
empat bulan menjadi murid sekolah Taman Dewasa Utuy berhenti sekolah karena
usaha restoran ayahnya rugi. Setelah itu, orang tua Utuy bercerai dan Utuy
kembali ke Cianjur bersama ibunya. Keberadaan Utuy di Cianjur hanya membuat dia
semakin sakit hati saja dengan keadaan si gadis yang bertolak belakang dengan
dirinya. Akhirnya Utuy dan Ibunya kembali ke Bandung untuk mencari pekerjaan.
Dua tahun Utuy tinggal di Bandung si gadis menikah dengan seorang pegawai
pegadaian yang dulu merupakan teman sekelasnya. Tapi ditahun itu juga dua
karangan Utuy diterbitkan secara bersamaan sebagai feuilleton; Mahala Bapak
di surat kabar Sinar Pasundan dan Tambera
di surat kabar Sipatahunan. Tambera adalah suatu karangan yang dapat
menyebabkan Utuy dinamakan pengarang. Utuy mengarang dan lalu dinamakan
pengarang karena Utuy merasakan adanya sesuatu yang mengharukan sebagai
tantangan yang mesti dijawab. Dan karangannya adalah jawaban atas tantangan
tersebut.
L. Achdiat K. Mihardja (Pencipta Versus
Pengkritiknya)
Atheis merupakan
salah satu roman karya Achdiat yang sejak lahirnya tahun 1949 terus mengundang
interpretasi. Banyak orang bertanya, mengapa Atheis banyak menarik perhatian
orang. Jelas bahwa memang isi buku itu yang membuat buku itu (apa yang Achdiat
sebut) Poly-interpretable dan kadang-kadang kontroversial. Di samping banyak
yang memuji, dengan sendirinya ada pula yang mencela. Beberapa kekecewaan telah
dikemukakan, masing-masing pihak menginginkan supaya pendirian dan ideologinya
lebih kuat dikemukakan. Achdiat menegaskan bahwa Atheis adalah cerita yang
realistis, bukan simbolis. Pernyataan Achdiat ini sekaligus meluruskan adanya
kekeliruan antara pembaca dan kritikus yang menganggap bahwa kematian Hasan
sebagai suatu simbol atau perlambang dari kematian theisme. Selanjutnya ada
juga orang yang bertanya, mengapa aliran pikiran agnostisisme tidak dibahas
dalam Atheis. Achdiat menjelaskan bahwa pentingnya dan menariknya roman
letaknya terutama dalam ceritanya yang realistis (bukan simbolis), yang
biasanya terikat pada sesuatu setting yang mencakup masyarakat dan zaman
tertentu. Yang dianggap paling penting dan paling utama oleh pengarang adalah
kebenaran estetis yang ditetapkan oleh bentuk yang efektif.
Di samping
mengenai soal isi, orang mengemukakan pula pendapatnya tentang hal dan bentuk
dan susunan cerita Atheis itu. Dalam bagian-bagian yang merupakan naskah Hasan
itu, jelas bahwa tokoh utama yang diceritakan oleh “aku” adalah dirinya
sendiri, yaitu Hasan. Dengan demikian, cara yang dipakai dalam bagian tersebut
adalah autobiographical method / point of view of the first person / “gaya
aku”. “Saya” dalam kedua bagian itu tidak mengambil “gaya aku” lagi, melainkan
cara lain yaitu the eye of God method / omniscient (= mahatahu) point of view /
“gaya dia” / “gaya orang ketiga”. Maksud Achdiat menggunakan dua “gaya” untuk
satu cerita adalah untuk mempertahankan keutuhan plotnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar