Jumat, 22 Juni 2012

Bahasa Indonesia yang “Bersih” Sebagai Media Pendidikan Karakter Bangsa



Peran bahasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bukan hanya sebagai alat untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran, tetapi juga sebagai media penggerak kemajuan suatu bangsa. Bangsa Indonesia dan bahasa Indonesia merupakan satu kesatuan yang menjadi unsur berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam naskah “Sumpah Pemuda 1928”. Lalu, sejauh mana syair indah Sumpah Pemuda itu masih menggema di lubuk hati masyarakat Indonesia? Padahal, di dalamnya terdapat material-material pembentuk berdirinya NKRI yang tidak boleh dilupakan. Salah satunya adalah bahasa pemersatu, bahasa Indonesia yang menjadi identitas, kepribadian, dan jati diri bangsa Indonesia. Identitas bukan hanya sekadar lambang, tetapi juga sebuah makna terdalam dalam keutuhan suatu negara. Bahasa Indonesia yang bersih adalah bahasa Indonesia yang baik dan benar, sehingga mampu berperan sebagai media dalam pembentukan karakter bangsa yang berbudi dan berbudaya. Seperti halnya yang diungkap para kaum relativisme, bahwa bahasa dapat memberikan dampak terhadap aktivitas penuturnya. Bahasa diartikan sebagai media pembelajaran dalam pembentukan karakter seseorang. Jika dalam konteks yang lebih luas lagi, bahasa mampu membentuk karakter suatu bangsa, seperti ungkapan “bahasa menentukan bangsa”. Hal ini menjadikan bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai alat komunikasi dalam berbagai ranah kehidupan di Indonesia.
Beberapa hasil survei publik mengindikasikan minimnya kosakata yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Ada ratusan ribu kosakata yang dimiliki bahasa Indonesia. Akan tetapi, kosakata yang diketahui atau digunakan oleh kebanyakan orang Indonesia ternyata sangat terbatas jumlahnya. Rata-rata orang Indonesia hanya mengetahui atau menggunakan sekitar 2.000 sampai 10.000 kata saja. Jumlah tersebut kurang dari 2% total kata di dalam bahasa yang digunakannya. Padahal, kata-kata yang digunakan seorang penutur akan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasinya dengan orang lain. Pilihan kata-kata yang digunakan memiliki kontribusi yang besar bagi kesuksesan atau kegagalan dalam berkomunikasi. Mampu berbicara dengan bahasa pendengar adalah kunci keberhasilan berbicara. Kekerasan dan anarkisme adalah salah satu contoh kegagalan dalam berbahasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Keduanya merupakan budaya yang turut memperparah kondisi sosial budaya Indonesia hingga berdampak pada melemahnya karakter bangsa. Masyarakat menjadi sangat mudah tersulut emosinya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan, merusak gedung, serta berkata kasar dalam berunjuk rasa. Mirisnya, perilaku tidak beradab tersebut dewasa ini tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat awam saja, tetapi sudah merambah di kalangan mahasiswa. Pemahaman dan penggunaan bahasa Indonesia di kalangan mahasiswa sudah mulai memudar, padahal ini adalah bahasa nasional, bahasa pemersatu. Fenomena tersebut dapat menjadi bukti nyata melemahnya karakter bangsa Indonesia. Hal demikian tidak akan terjadi apabila masyarakat mengindahkan bahasa Indonesia yang baik dan benar sebagai sarana untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka.
Tidak sedikit orang yang tinggal di negara Indonesia dan mengaku bangsa Indonesia enggan menggunakan bahasa Indonesia yang bersih. Padahal, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar melatih masyarakat untuk peduli: peduli terhadap kepribadian bangsa; peduli terhadap keutuhan negara; peduli terhadap keberadaan negara Indonesia dalam tatanan dunia Internasional. Bangsa Indonesia pun seharusnya tidak lupa untuk kembali mengingat seberapa banyak persoalan yang dimiliki bangsa ini karena kurangnya kepedulian terhadap apa yang menjadi hak miliknya sendiri. Misalnya, kesenian reog ponorogo yang nasibnya berakhir diakui negara lain, hilangnya dua pulau Indonesia yang akhirnya menjadi bagian dari negara Malaysia, dan hingga kesenian wayang kulit yang menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa Indonesia pun ikut termasuk ke dalam lingkaran persoalan yang demikian. Ketika kesenian wayang kulit yang katanya milik Indonesia sudah diakui oleh negara lain, barulah bangsa Indonesia tergerak hatinya untuk peduli dan dengan kukuh mempertahankan bahwa kesenian tersebut adalah miliknya. Selanjutnya pada lain kesempatan, ketika kesenian wayang kulit diakui keberadaannya oleh UNESCO, bangsa Indonesia dengan bangga mengaku bahwa kesenian tersebut milik Indonesia. Sementara itu, di luar sana masih banyak dalang kesenian wayang kulit yang kesulitan makan. Pendek kata, semua berawal dari rasa peduli dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaganya.  
Sastrawan dan budayawan Indonesia Ajib Rosidi dalam Seminar Nasional Kebahasaan HIMA PBSI UNY, Senin (27/2), mengungkapkan kekagumannya terhadap bapak pendiri negara Indonesia, Soekarno-Hatta. Sebagai figur sentral negara Indonesia, Soekarno-Hatta dalam menyampaikan pidatonya selalu menggunakan bahasa Indonesia yang bersih, walaupun pada kenyataannya beliau telah mahir dalam berbahasa asing. Pasalnya, kedua bapak pendiri negara Indonesia itu memiliki rasa bangga yang tinggi terhadap bahasa nasionalnya. Mereka membuktikan bahwa bahasa nasionalnya sudah modern dan cukup untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka, tanpa harus menggunakan sisipan-sisipan bahasa asing agar lebih terlihat berbobot. “Seharusnya, kenyataan yang demikian wajib diindahkan sehingga menjadi teladan bagi bangsa Indonesia terutama bagi para sosok yang berdiri di panggung nasional,” jelas Ajib.
Belakangan banyak sosok panggung nasional yang melakukan perselingkuhan terhadap bahasa ibu. Dikatakan perselingkuhan karena mereka mengasingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu dan memberi peluang bagi bahasa asing untuk menggantikan posisi bahasa ibu yang sejatinya harus melekat pada pribadi bangsa Indonesia. Bahkan, petinggi yang paling tinggi pun tidak luput dari kenyataan yang demikian. Pertanyaannya adalah, masihkah mereka memiliki karakter yang mendukung terwujudnya cita-cita negara yang mereka banggakan tersebut?
Konsep yang harus dimiliki bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia yang bersih mampu membentuk karakter bangsa yang bersih pula. Penggunaan bahasa Indonesia yang bersih adalah salah satu media pembelajaran yang sederhana untuk mempertahankan keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu nasional, bahasa milik bangsa Indonesia sendiri. Dikatakan sederhana karena dapat dilakukan dengan pembiasaan. Seharusnya bangsa Indonesia bangga berbahasa Indonesia. Dalam kenyataannya, banyak mahasiswa asing yang tertarik datang ke Indonesia karena ingin mempelajari bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula pengajar-pengajar dari Indonesia dikirim, bahkan diminta mengajar di negara lain. Apa kurangnya bahasa Indonesia untuk dapat dibanggakan?
Betapa mengagumkannya kekuatan sebuah bahasa jika pemiliknya mau menjaga sekaligus mencintainya. Pada masa revolusi tahun 1945 misalnya, bahasa Indonesia memberikan peran yang luar biasa bagi para pejuang. Sebuah bahasa yang digunakan pemimpin dalam mengungkapkan pidatonya mampu membakar dada para pejuang Indonesia untuk mengangkat senjata, melawan bangsa asing yang tidak pantas berkoar-koar di atas penderitaan rakyat Indonesia. Dengan demikian, menjadi sangat jelas betapa bahasa mampu mengukuhkan bangsa Indonesia menjadi karakter yang tangguh.
Berangkat dari persoalan-persoalan tersebut, bangsa Indonesia yang terwadahi dalam  Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah waktunya bangga terhadap bahasa nasionalnya sendiri, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa kebohongan wajib ditandingi dengan bahasa kejujuran. Bahasa kekerasan harus ditandingi dengan bahasa kesantunan. Bahasa kesombongan mesti ditandingi dengan bahasa kebijaksanaan. Generasi muda bangsa ini perlu didorong untuk memuliakan bahasa sendiri. Bangsa Indonesia diharamkan untuk meremehkan kekuatan bahasa mereka sendiri. Bahasa dapat menjadi kawan, dapat juga menjadi penghancur. Tinggal bangsa ini mau memilih yang mana. Bukankah bukan hal yang memalukan jika suatu bangsa peduli, mempertahankan, dan mencintai apa-apa yang sudah menjadi hak milik bangsa tersebut? Yang memalukan adalah ketika suatu bangsa kehilangan jati dirinya sendiri. Jati diri yang sejatinya mengandung makna terdalam untuk membentuk keutuhan suatu bangsa, tidak pantas lepas dari tali persatuan negaranya. Cinta negara Indonesia, juga berarti cinta bahasanya. Hal ini sudah merupakan konsistensi yang akan menumbuhkembangkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter cerdas, tangguh, dan peduli sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia dalam pembukaan UUD’45. Bahasa yang akhirnya melahirkan bangsa yang besar ini, mutlak mendapat apresiasi setinggi-tingginya dari setiap orang yang mengaku bangsa Indonesia. Jadi, berbahasa Indonesia-lah dan berkarakter-lah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar