“DEKAPLAH WAKTU,
DEKAPLAH AKU I”
DAN “DEKAPLAH
WAKTU, DEKAPLAH AKU II”: SIMBOL KESETIAAN TERHADAP TUHAN
oleh Fita Mulyani
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Jamal D Rahman mengungkapkan keindahan
puisinya dengan menjaring simbol-simbol tertentu sehingga membentuk makna. Dalam
mengkaji puisinya pun, pembaca perlu menggunakan cara yang sama, yaitu sistem
tanda. Analisis puisi DEKAPLAH WAKTU,
DEKAPLAH AKU I dan DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH
AKU II karya Jamal D Rahman diharapkan dapat membedah makna kesetiaan
terhadap Tuhan melalui tanda simbolik yang terkandung dalam puisi itu sendiri. Berbagai
ilmu atau pengetahuan tentang tanda akan menumbuhkan kesadaran, pemahaman,
interpretasi, dan reproduksi tanda.
Dalam tingkat kesadaran, analisis
puisi DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU I
dan DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU II,
dapat membangun kesadaran tentang tanda. Lebih dalam lagi, pembaca dapat
menyadari bahwa dirinya berperan sebagai makhluk yang hidup dari, oleh, dan untuk
“Tanda”. Harus ada kesadaran bahwa tanda ada di mana-mana dan mengepung
kehidupan. Apabila kesadaran ini telah tumbuh, maka diharapkan mau dan mampu
memahami tentang bagaimana tanda itu tumbuh dan berkembang di setiap ruang dan
waktu.
Kata kunci: puisi,
waktu, simbol, kesetiaan
A.
Pendahuluan
Puisi merupakan perpaduan dua hal
yang mempesona, yaitu keindahan bahasa dan kedalaman makna.
Lewat
puisi kita bisa menikmati salah satu kekuatan bahasa, yaitu nuansa estetis yang
mungkin mengharu-biru perasaan dan hati kita. Puisi adalah pesona makna, yaitu
suasana, perasaan dan bahkan pikiran. Ekspresi makna yang terkandung dalam
puisi sering kali tak kalah mempesonanya dibanding bahasa. Dilihat dari sudut
puisi sebagai karya sastra, keindahan bahasa dan kedalaman makna menjadi hal
yang sangat penting.
Puisi Jamal D Rahman yang akan
dikaji berjudul DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH
AKU I dan DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU II (selanjutnya disingkat DWDA I dan DWDA II). Tema yang sangat menonjol dalam kedua puisi ini adalah
tema religius. Keduanya sama-sama mengadakan kesetiaan seorang hamba terhadap
Tuhannya. Imajinasinya terasa hidup dengan bahasa puisinya yang mempesona.
Pilihan bahasa yang dipakai dalam puisi-puisi Jamal D Rahman cenderung
menggunakan gaya bahasa yang simbolik. Jika ingin mengkaji makna kesetiaan
dalam puisi tersebut, maka untuk membedahnya harus menggunakan pendekatan yang
tepat, yaitu pendekatan semiotik.
Dalam puisi DWDA I dan DWDA II, Jamal
D Rahman banyak menggunakan makna-makna simbolik yang apabila dikaji, akan
membentuk bahasa dan makna yang mempesona tanpa terlepas dari temanya sendiri,
yaitu religius. Puisi ini dapat dikatakan tariqoh dalam menjabarkan luapan
batin seseorang kepada dirinya sendiri, ataupun seorang hamba kepada Tuhan yang
telah diyakininya. Melalui puisi ini, Jamal D. Rahman datang dengan wajah yang
penuh renungan, penuh dengan fatwa yang cukup tegas. Puisi ini lahir dari kegelisahan
seorang Jamal D Rahman dalam menyaksikan kenyataan hidup. Jamal mencoba keluar
dari kehidupan yang penuh kegelisahan menuju kehidupan yang penuh kebahagiaan,
kehidupan sebagai makna hidup yang sebenarnya. Semua cara ditempuh untuk
mendapatkan apa yang diinginkan. Analisis terhadap sajak-sajak puisi DWDA I dan DWDA II karya Jamal D Rahman diharapkan dapat membedah makna dan
tanda simbolik yang terkandung dalam puisi itu sendiri. Berbagai ilmu atau pengetahuan
tentang tanda akan menumbuhkan kesadaran, pemahaman, interpretasi, dan reproduksi
tanda.
Pada tingkat kesadaran,
diharapkan melalui analisis puisi DWDA I
dan DWDA II menggunakan pendekatan
semiotik, dapat memiliki kesadaran tentang tanda atau menyadari dirinya sebagai
makhluk yang hidup dari, oleh, dan untuk “tanda”. Harus ada kesadaran bahwa
tanda ada di mana-mana dan mengepung kehidupan. Apabila kesadaran ini telah
tumbuh, maka diharapkan mau dan mampu memahami tentang bagaimana tanda itu tumbuh
dan berkembang di setiap ruang dan waktu. Pada tahap selanjutnya, melalui
penelitian ini, diharapkan mampu menginterpretasi dan mereproduksi tanda agar
tanda-tanda itu menjadi bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan
manusia. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
Kajian sastra merupakan proses atau
perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama
sastra. Menurut Abrams (via Wiyatmi, 2008), pendekatan terhadap karya sastra
terdiri dari empat pendekatan, yaitu pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik,
dan objektif. Kemudian, keempat pendekatan tersebut berkembang hingga muncul
beberapa pendekatan. Di antara empat pendekatan tersebut, salah satunya adalah
pendekatan “semiotik” yang nantinya akan digunakan dalam penelitian ini.
Pengertian semiotik diartikan sebagai ilmu tanda, yang memandang fenomena
sosial dan budaya sebagai sistem tanda (Preminger via Wiyatmi, 2008). Dengan
demikian, pendekatan semiotik adalah pendekatan yang memandang karya sastra
sebagai sistem tanda (Wiyatmi, 2008: 92). Term pseudo-scientific dipergunakan
sebagai sebuah kompromi pandangan antara kubu yang menyatakan bahwa semiotik
merupakan sebuah ilmu sebagaimana dikonstruk oleh Ferdinand de Saussure, sebagian
lagi menyebutkan bahwa semiotik hanya merupakan sudut pandang, metode analisis,
atau pendekatan. Dalam makalah ini, semiotik ditempatkan sebagai semacam ilmu
yang berisi objek kajian, metode, pendekatan, teknik analisis dan interpretasi
makna dan apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia. Selain itu, dalam
kehidupan sehari-harinya, manusia juga sering berada dalam proses semiosis,
yaitu memahami sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai sistem tanda.
Saint Agustinus menyatakan bahwa segala sesuatu dapat menjadi tanda selama
dapat membawa sebuah makna tertentu. Satu-satunya yang tidak dapat menjadi
tanda adalah Tuhan itu sendiri. Tuhan justru memberi warna pada setiap petanda
akhir (ultimate signified). Ia melihat hubungan yang tidak dapat dipisahkan
antara setiap tanda yang digunakan manusia dalam proses komunikasi, dan
sumber-sumber kekuasaan Tuhan yang memberi pondasi jaminan makna akhir pada
setiap tanda tersebut. St. Agustinus mengatakan bahwa ada tanda dan makna yang
lebih dalam lagi, yaitu petanda dan makna-makna yang berkaitan dengan
tanda-tanda ketuhanan (divine signs).
North menyebutkan empat tradisi yang melatarbelakangi kelahiran semiotika,
yaitu semantik, logika, retorika, dan hermeneutika. Culler menyebutkan
strukturalisme dan semiotik sebagai dua teori yang identik. Strukturalisme
memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika pada tanda. Sejalan dengan
Culler, Selden menganggap strukturalisme dan semiotik termasuk ke dalam bidang
ilmu yang sama, sehingga keduanya dapat dioperasikan secara bersama-sama. Untuk
menemukan makna suatu karya, analisis strukturalisme mesti dilanjutkan dengan
analisis semiotika. Demikian juga sebaliknya, dengan menggunakan analisis
semiotika, dapat diartikan sudah melakukan analisis strukturalisme. Semata-mata
dalam hubungan ini, yaitu sebagai proses dan cara kerja analisis keduanya
seolah-olah tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, disamping menggunakan teori
semiotik, penelitian ini juga dibantu oleh teori struktural yang merupakan
konsep pemikiran I.A. Richards (1976). Dia menyebut struktur sajak sebagai
hakikat sajak yang meliputi tema (sense),
perasaan (feeling), nada dan suasana
(tone), dan amanat (intention).
Tahap pertama memahami puisi secara semiotik adalah dengan menentukan arti
(meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-katanya
secara referensial, menurut kemampuan bahasanya yang mendasarkan fungsi bahasa
sebagai alat komunikasi tentang gejala luar fungsi mimetiknya. Tahap ini oleh Riffatere
disebut tahap heuristik. Setelah itu, pembacaan dan pemaknaan harus ditingkatkan
pada tahap semiotik yatu dengan membongkar kode-kode sastra secara struktural,
atas dasar significance (makna);
penyimpangan dari kode bahasa, dari makna biasa, oleh Riffatere disebut ungrammaticalities dengan latar belakang
keseluruhan karya yang disimpanginya (intertekstualitasnya dengan karya-karya
sebelumnya). Tahap kedua ini yang disebut sebagai tahap pemaknaan secara
semiotik atau hermeneutik.
B.
Pembahasan
1.
DEKAPLAH WAKTU,
DEKAPLAH AKU I dalam Kajian
Semiotik
DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU I
dekaplah waktu,
dekaplah sajak di sela tangisku yang runtuh langit,
tak habis memburu
gemuruhmu.
aku memanjati
detik-detik leherku sendiri,
menggapai
kekosongan gelisahku yang memar di kelu batu
lidahku. sudah
kuperas darahku sendiri, mencari sari bunga rumahmu.
tapi darahku pecah,
memerah
sendiri tanpa urat
tanganku.
dekaplah waktu,
dekaplah aku agar kukumu tak lepas dari jemariku.
aku paku
tulang-tulangku di pintumu,
untuk mendengar
ketukan-ketukanku sendiri. tapi setiap kali
kupaku
tulang-tulangku, yang menetes di pintumu hanyalah darah puisiku ….
maka, dekaplah
waktu,
dekaplah aku, sebab
di pintumu aku takkan berhenti mengaji alif-alif ketukan itu ….
1.1 Struktur Tekstual DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU I
a.
Tema
Puisi DWDA I dibangun melalui suasana religius
yang mengajak pembacanya menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari
ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan. Hayatilah
makna hidup ini sebagai sebuah “pengembaraan di negeri asing”. Selain itu, pembaca
seolah diajak untuk
ikut belajar, kemudian mengerti lantas memahami arti kehidupan yang sebenarnya.
b.
Perasaan
Perasaan
berhubungan dengan suasana hati penyair. Dalam puisi DWDA I, gambaran perasaan penyair adalah perasaan terharu dan
harapan dari sebuah doa. Perasaan tersebut tergambar dari diksi-diksi yang
digunakan. Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan
maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi seringkali
juga menjadi ciri khas seorang penyair. Dalam puisi DWDA I, Jamal D Rahman banyak memilih penggunaan bahasa kias yang
menyatakan makna dari simbol-simbol tertentu. Sudah tentu bahwa diksi yang
dipakai jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Seperti, dekaplah waktu,
runtuh langit, memanjat detik-detik, batu lidahku, dan lain-lain. Selain itu,
pemilihan bahasa yang menonjol dalam puisi ini adalah Jamal D Rahman banyak
menggunakan istilah-istilah dalam biologi yaitu organ-organ tubuh manusia untuk
mewujudkan makna dan membangun perasaannya.
c.
Nada dan Suasana
Suasana yang
terbangun dalam puisi ini jika diamati dari awal sampai akhir, cenderung menggambarkan
suasana hati seseorang yang berada dalam suasana gelisah dan ingin menggapai
apa yang diinginkannya. Di samping itu, nada yang terbentuk juga menggambarkan
adanya harapan melalui sebuah doa dalam suasana yang hening dan mencapai pada tingkat
kekhusyukan tertentu.
d.
Amanat
Berdasarkan
temanya, puisi ini bertemakan ketuhanan, yang isinya seolah-olah mengajak
pembacanya menyadari bahwa hidup ini tidak bisa berpaling dari ketentuan Tuhan.
Karena itu, dekatkanlah diri kita dengan Tuhan. Hayatilah makna hidup ini
sebagai sebuah “pengembaraan di negeri asing”.
1.2 Puisi DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU I dalam
Kajian Semiotik
Jika diartikan, puisi DWDA I
karya Jamal D. Rahman bermakna bahwa penyair dengan keteguhan hatinya, walaupun
terasa sakit, tetapi berusaha mencari tentang arti sebuah kehidupan melalui
jalan dan petunjuk yang sejatinya adalah milik Tuhan. Pada bait pertama baris
pertama, kalimat “dekaplah aku” yang juga digunakan penyair sebagai judul
menggambarkan sebuah permohonan atau komunikasi seorang penyair dengan Sang
Pencipta. Dalam baris ini, penyair juga menggunakan ikon “waktu”. Waktu
merupakan sebuah simbol. Waktu adalah sesuatu yang tak akan pernah kembali. Dalam
dimensi waktu manusia hidup. Sejak ia dilahirkan, kemudian menjalani kehidupan,
hingga akhirnya menjemput kematian. Dalam puisi ini, waktu menjadi sebuah
renungan, renungan dalam sajak. Sajak milik Sang Pencipta, yaitu tuntunan hidup
yang tertuang dalam kitab.
Waktu akan terus berjalan, walaupun ada yang menangis bersujud memintanya
berhenti. Seperti yang diungkapkan penyair dalam sajak /dekaplah waktu, dekaplah sajak di sela
tangisku yang runtuh langit/ tak habis memburu gemuruhmu//. Akan tetapi, ia tak
akan berhenti tanpa seijin Sang Hyang Wenang, yaitu Sang Pencipta kehidupan. Penyair
“memanjati detik-detik leherku sendiri”. Kata “memanjat” bermakna konotasi,
yang berarti menjalani. Ikon “detik-detik leherku” merupakan sebuah simbol. Di
mana leher adalah tempat letaknya urat nadi, yang merupakan simbol kehidupan.
Jika diartikan, akan diperoleh makna bahwa penyair memaknai waktu sebagai unsur
kehidupan yang penting, di mana di dalamnya manusia lahir, hidup, kemudian
mati.
Pada baris selanjutnya, penyair mencari jawaban atas segala keresahan
tentang penerangan yang ingin diperolehnya, tentang kebahagiaan yang hendak
didekapnya. Terbukti dengan sajak, /menggapai kekosongan gelisahku yang memar
di kelu batu lidahku//. Segala upaya dilakukan penyair untuk dapat menggapai
keinginannya. Betapa sulit jalan untuk mencapai tujuannya itu. Akan tetapi,
penyair dengan segala kesungguhannya dan segala daya yang ada padanya, ia
curahkan demi tercapainya tujuan tersebut. Tujuan yang tanpa kuasa Tuhan, tak
akan bisa ia dapat. Kesungguhan penyair dapat dilihat dalam sajak, /sudah
kuperas darahku sendiri, mencari sari bunga rumahmu//. Dalam sajak ini, penyair
menggunakan ikon “darah”, menunjukkan bahwa pengorbanan yang dilakukan penyair
amat sungguh-sungguh, hingga menyangkut hal yang paling primer dalam kehidupan,
yaitu darah. Karena darah merupakan sebuah simbol, sebagai tanda adanya
kehidupan. Selain itu, darah juga merupakan simbol keresahan. Ini menunjukkan
pada kondisi, ada keresahan tersembunyi dalam diri penyair. Kata “darahku” menandakan
keresahan diri penyair, sedang ikon “sari bunga rumahmu” merupakan tujuan yang
ingin dicapai penyair. Pronomina “–mu” dalam kata rumahmu menunjukkan bahwa
tujuan yang ingin dicapai penyair tersebut adalah dengan kuasa Tuhannya.
Namun, selanjutnya penyair menemukan suatu rintangan. Ia ada pada keadaan
di mana seseorang telah keluar dari jalan menuju tujuannya. Dilukiskan dalam
sajak, /tapi darahku pecah, memerah sendiri tanpa urat tanganku//. Darah yang
pecah dan memerah tanpa urat tangan, secara biologis, diartikan keadaan darah
di mana ia telah keluar dari jalur urat nadinya karena suatu sebab, seperti
terluka. Bisa dibayangkan betapa sakitnya dan betapa tidak mudahnya. Lantas kemudian, penyair bertawakal. Menyerahkan
hasil akhir yang akan diperoleh atas usahanya kepada Yang Memberi Kuasa. Kemudian,
melalui sajak, /dekaplah waktu, dekaplah aku agar kukumu tak lepas dari
jemariku//, penyair memohon lindungan kepada Tuhannya. Ikon “kukumu” diartikan
sebagai simbol yang berarti petunjuk Tuhan.
Pada bait kedua baris pertama, berbunyi sajak, /aku paku tulang-tulangku di
pintumu/. “Paku” menandakan sebuah simbol pemersatu. Ikon “tulang-tulangku”
memiliki arti sebagai penegak dan alat gerak manusia. Manusia tanpa tulang
tidak akan dapat tegak dan bergerak. Kata “pintumu” juga bermakna konotasi yang
berarti jalan, petunjuk atau pedoman yang diberikan Tuhan kepada manusia. “aku
paku tulang-tulangku di pintumu” berarti penyair melakukan pengabdian kepada
Tuhannya melalui jalan dan pedoman yang telah ditunjukkan Tuhan. Dalam hal ini
diartikan sebagai “kitab tuntunan”. Jika dalam Islam disebut Al-Quran. Pengabdian
yang dimaksud adalah mempelajari atau mengaji Al-Quran. Akan tetapi, setiap
kali ia mengaji, yang menetes justru adalah “darah puisinya”. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, bahwa darah merupakan simbol kegelisahan. Semakin
penyair tahu tentang makna dan kebenaran Al-Quran, semakin penyair merasa takut
dan gelisah. Ia mencemaskan sisa waktunya.
Maka, pada baris 12 dan 13 penyair berkomunikasi dengan Tuhan melalui doa
dalam sajaknya, /maka, dekaplah waktu/ dekaplah aku, sebab di pintumu aku
takkan berhenti mengaji alif-alif ketukan itu ….//. Penyair berdoa untuk senantiasa
diberi lindungan, waktu, dan petunjuk jalan yang benar agar dapat memaknai
hidup secara benar. Karena kehidupan akan terus berjalan beriringan dengan sang
waktu. Kapan berawal, kapan berakhir, kapan hidup, kapan mati, hanya Tuhan yang
tahu. Waktu tetap sebuah misteri rahasia Tuhan.
2.
Puisi DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU II dalam
Kajian Semiotik
DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU II
bacalah aku.
bacalah aku dengan ayat-ayat yang terus mengeja gerimis dalam hujan.
tak tamat-tamat
mengaji panggilan air di hujan-hujan azanku.
di ruas jemariku
ayat-ayatmu tumbuh jadi bunga.
basah ungu. basah
ungu.
maka biarlah ia
melayari gerimis tulang-tulangku, menggali-gali hujan nadiku,
hingga sumsum
menyabda pada sajak-sajakku.
aku baca ungu
suaraku di tulang-tulangku sendiri, tempat darahku akan mengering.
dagingku akan
mengering. tapi yang terbaca dari suaraku hanya ungu matamu,
tak henti-henti
mengedipkan bunga
pada bugenfil yang
membuat tanganku pun menjadi ungu, seungu suaraku, seungu matamu.
di persimpangan
tanganmu, puisiku akan membeku. akan membeku.
seperti daun pintu
memadatkan
sunyi dalam deru hujan. dan di antara deru
hujan pada tulang-tulangku,
masih tercium juga
bau garam
yang mengeras dari lautan airmataku.
maka dengarlah
bisik doaku pada daun jendelamu, yang selalu
kuketuk dengan
tulang-tulang tangisku.
2.1
Struktur Tekstual DEKAPLAH WAKTU, DEKAPLAH AKU II
a.
Tema
Puisi DWDA II pada dasarnya memiliki tema yang
sama dengan puisi DWDA I, yaitu
bertemakan ketuhanan. Namun, dalam puisi yang kedua, Jamal D Rahman lebih
mempertegas makna religiusnya. Ini bukan dikarenakan jumlah bait ataupun
barisnya yang lebih banyak dari pada puisi yang pertama. Kedua puisi tersebut
sama-sama mengungkapkan dialog hamba dengan Tuhannya. Dalam puisi kedua tema
puisi tersebut lebih diperjelas lagi melalui bait terakhir baris ke-enam dan
ke-tujuh, //maka dengarlah bisik doaku pada daun jendelamu, yang selalu//
kuketuk dengan tulang-tulang tangisku//. Sajak “dengarlah bisik doaku” semakin
memperjelas bahwa puisi tersebut mengungkapkan komunikasi penyair dengan
Tuhannya melalui doa.
b.
Perasaan
Seperti pada puisi
pertama, dalam puisi DWDA II suasana
hati penyair adalah rindu (terhadap Tuhannya) dan terharu.
c.
Nada dan Suasana
Suasana yang
terbentuk dalam puisi tersebut, sejak awal menggambarkan suasana yang sedih dan
haru. Dilukiskan dengan digunakannya kata “gerimis” pada baris pertama yang
merupakan sebuah tanda adanya kesedihan. Suasana dominan yang terbentuk selanjutnya
dalam puisi tersebut adalah suasana sunyi. Terbukti dalam sajak, //sunyi dalam
deru hujan// pada bait terakhir, menggambarkan suasana yang sunyi dalam hati
penyair. Nada yang diungkapkan penyair penuh dengan harapan, rendah hati (nada
seorang hamba terhadap Tuhannya), dan belas kasihan. Nada tersebut diungkapkan
melalui sebuah doa yang diselubungi rasa pengabdian yang tinggi terhadap
Tuhannya.
d.
Amanat
Kita harus
senantiasa bersyukur atas anugerah yang dilimpahkan Tuhan terhadap kita.
Anugerah itu dapat berwujud nikmat secara langsung, maupun berwujud tanda.
Seperti halnya ayat atau tanda dari Allah tidak hanya berupa kata-kata dalam Al-Quran.
Allah juga mengajari kita dengan tanda-tanda lain, yaitu ayat-ayat kauniah
seperti pohon, sungai, udara, dan ciptaan Allah yang lain, bahkan dalam diri
kita pun terdapat tanda yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih.
2.2 Puisi DEKAPLAH WAKTU,
DEKAPLAH AKU II dalam Kajian Semiotik
Puisi yang ke-dua ini bertema
umum kesetiaan terhadap Tuhan, serta bertema khusus tentang ungkapan rasa syukur
penyair kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan segala anugerah dalam
kehidupannya. Pada bait pertama diawali dengan sajak, //bacalah aku/. Kata “aku”
di sini adalah sebagai subjek, yaitu si penyair itu sendiri. Kata “bacalah”
bermakna konotatif, yaitu dapat diartikan pahami atau maknai. /bacalah aku
dengan ayat-ayat yang terus mengeja gerimis dalam hujan//. “Gerimis” sering dipakai
untuk melukiskan suasana sedih atau murung. “Hujan” sering diartikan sebagai
anugerah. “Ayat-ayat” di sini dimungkinkan memiliki makna denotatif, yaitu
makna sebenarnya. Jika dimaknai, ini menandakan suasana hati penyair yang sedih
dan terharu dalam limpahan anugerah Tuhan. Maka, “bacalah aku dengan
ayat-ayat”, yaitu dengan penuh rasa syukur seperti yang dimaknai dalam
ayat-ayat (Al-Quran).
Sajak pada baris selanjutnya
berbunyi, //tak tamat-tamat mengaji panggilan air di hujan-hujan azanku//. Kata
“azan” sendiri mempunyai makna sebuah panggilan. Sebuah panggilan yang
ditujukan kepada umat muslim. Azan dalam sajak tersebut dimaknai seperti
panggilan air dalam hujan. Begitu deras, dan penuh anugerah pada siapapun yang
menerimanya. “tak tamat-tamat mengaji”, menandakan ada hal yang terus-menerus
dan tanpa akhir. Dalam sajak ini, hal yang dimaksudkan adalah “mengaji”, yaitu
belajar tentang kebenaran melalui jalan Tuhan.
Baris selanjutnya, //di ruas
jemariku ayat-ayatmu tumbuh jadi bunga//. Sajak “di ruas jemariku” melukiskan
tindakan yang dilakukan penyair, dimaknai seperti “menuding” ayat-ayat Tuhan
(mengaji). Dalam sajak ini juga terdapat ikon “bunga”. Bunga merupakan sebuah
simbol keindahan. Jadi, dapat diartikan bahwa penyair mengaji ayat-ayat Tuhan
dan menemukan keindahan tersendiri dari makna ayat-ayat yang ia pelajari
tersebut. //basah ungu. Basah ungu//. “basah” mempunyai makna dingin, damai dan
abadi. Ikon warna “ungu” merupakan sebuah simbol. Warna ungu sendiri memiliki
arti yang menunjukkan pengaruh, kekuatan
spiritual, pengetahuan yang tersembunyi, misteri, pencerahan, kepercayaan yang
dalam dan magis atau keajaiban. Jika diartikan menghasilkan makna adanya
kekuatan spiritual yang membawa kedamaian pada si penyair.
Kemudian, /maka biarlah ia
melayari gerimis tulang-tulangku, menggali-gali hujan nadiku/. Pronomina “ia”
berkaitan dengan makna pada baris sebelumnya, yaitu kekuatan spiritual yang
dimaksud penyair. Penyair membiarkan kedamaian tersebut melayari segenap
kesedihan (yang diungkap melalui kata “gerimis”) dalam ketegarannya (dilukiskan
melalui ikon “tulang-tulangku”). “menggali-gali” diartikan sebagai mengingat
hujan nadiku, mengingat anugerah-anugerah yang telah diberikan Tuhan dalam nadi
si penyair (dalam hidup si penyair). //hingga sumsum menyabda pada
sajak-sajakku//. “sum-sum” merupakan bagian yang terkecil dari tulang. Jika
tadi “tulang” berarti ketegaran, maka “sum-sum” merupakan hal yang menjadi
bagian dari yang membuat adanya ketegaran tersebut. “sajak-sajak” di sini
memiliki makna konotatif, yaitu ayat-ayat Tuhan. “menyabda” sama artinya dengan
mengucap, menyeru ayat-ayat Tuhan sebagai sumber atas segala ketabahan hidup.
Dari keseluruhan diksi yang
digunakan penyair pada bait ke-dua, dapat ditangkap makna yaitu ungkapan
penyair bahwa “yang berdaging pasti nantinya akan mengering” melalui sajak,
//dagingku akan mengering//. Secara sadar penyair mengungkapkan bahwa dirinya
nantinya akan tiada, tidak berarti dan kembali pada Sang Pencipta. Dalam bait
ini, banyak terdapat pengulangan kata “ungu”. Makna ungu di sini menjadi magis,
semagis senja, semagis kata yang berhasil merayapi lembah dada. Penyair
berkeluh, seharusnya yang mampu ia tangkap lebih dari sekadar kata “mati,
kering, dan tiada”. Namun, yang ia tangkap hanyalah “ungu matamu”, yaitu rahasia
Tuhan. Sebuah ketentuan tetap menjadi suatu rahasia milik Tuhan, yang “tak
henti-hentinya mengedipkan bunga”: membawa kejutan dan rencana-rencana yang
idah. Bunga “bugenfil” dipersonifikasikan sebagai lambang kasih. Maka,
rencana-rencana Tuhan merupakan lambang kasih (yang kehadirannya tetap suatu
rahasia) yang membuat kenyataan yang senyata-nyatanya dalam hidup penyair pun
menjadi sebuah rahasia, seperti rahasia rencana-rencana Tuhan: yang membuat tanganku pun menjadi ungu,
seungu suaraku, seungu matamu.
Tiga bait puisi ini, kemudian
maknanya diperjelas pada bait terakhir atau ke-tiga, berada pada baris terakhir.
Bait tersebut berbunyi, /maka dengarlah bisik doaku pada daun jendelamu, yang
selalu/ kuketuk dengan tulang-tulang tangisku//. Sajak tersebut menggambarkan
sebuah komunikasi. Penyair melakukan komunikasi kepada Tuhan melalui doa yang
melukiskan penghambaan yang utuh kepada Tuhan.
C.
Simpulan
Dalam puisinya, Jamal D Rahman banyak menggunakan ikon indeks simbol seperti,
ruas jemari, tulang-tulangku, nadiku,
sum-sum, dagingku, suaraku, dan air mataku, yang semua itu merupakan
organ-organ dalam diri manusia. Organ-organ tersebut bukan merupakan makna denotatif,
melainkan sebuah simbol yang merupakan tanda. Seperti halnya ayat atau tanda
dari Allah tidak hanya berupa kata-kata dalam Al-quran. Allah juga mengajari
manusia melalui tanda-tanda-Nya yang lain, yaitu ayat-ayat kauniah
seperti pohon, sungai, udara, dan ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Bahkan,
dalam diri manusia pun terdapat tanda.
Berdasarkan pengamatan, hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa
Jamal D Rahman menggunakan ikon-ikon berupa organ yang ada pada diri manusia
untuk memaknai sebuah tanda. Tanda yang secara tidak langsung menyabda pada
organ terkecil manusia untuk tetap setia mensyukuri sebuah fakta penciptaan. Dengan
demikian, diharapkan adanya kesadaran tentang tanda atau menyadari dirinya
sebagai makhluk yang hidup dari, oleh, dan untuk “Tanda”.
DAFTAR PUSTAKA
Hendrawati, Lianny.
2008. Pelangi: Makna Waktu. Diakses dari
http://liannyhendrawati.blogdetik.com, pada tanggal 10
April 2012.
Kutha Ratna,
Nyoman. 2009. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rukmana, Rahmat.
1995. Bugenfil. Yogyakarta: KANISIUS
(Anggota IKAPI).
Rusli, Salim. 2011. Tafsir Al-’Alaq: Qalam, Tanda, dan Semiotika. Diakses dari http://www.salmanitb.com, pada tanggal 11 April 2012.
Rusmana, Dadan.
2005. Tokoh dan Pemikiran Semiotik.
Tazkiya Press.
Sayuti, Suminto A.
2002. Berkenalan dengan Puisi.
Yogyakarta: Gama Media.
Suroso, dkk. 2009. Kritik Sastra: Teori, Metodologi, dan
Aplikasi. Yogyakarta: ELMATERAPUBLISHING.
Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta:
PUSTAKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar