Jumat, 07 Oktober 2011

Tentang Novel “Sekayu” Karya Nh. Dini


  1. Tentang Sekayu

Lahirnya suatu karya sastra tidak bisa lepas dari keadaan lingkungan sosial pengarangnya. Membaca buku-buku Nh Dini adalah seperti halnya membaca sebuah kehidupan dari masa ke masa. Hampir sepanjang hidup ia menulis dan mencatat peristiwa-peristiwa, baik yang ia alami maupun yang ia amati disekelilingnya. Seperti novel “Sekayu” yang diambil dari pengalamannya semasa ia kecil hingga remaja. Novel ini adalah buku keempat dari seri “cerita kenangan” Nh. Dini.
Sekayu adalah kisah sehari-hari peristiwa ia mulai SD, SMP, dan masa remaja berikut peristiwa-peristiwa yang melingkupi keluarga. Diceritakan dalam buku ini bagaimana hidup Nh. Dini pada waktu kecil yang penuh larangan dengan lakon bernama “Dini”. Dalam Sekayu dikisahkan Dini (yang telah memasuki dunia remaja) melihat gejala persoalan di sekitar rumah tangga, teman, dan kotanya. Dini yang telah memasuki dunia remaja tidak mau disebut anak-anak. Dia merasa sudah berada di ambang kedewasaan. Ia mau agar orang memperlakukannya seperti orang dewasa.
Pada waktu Dini kelas 6 SD dia sudah dapat mengenali dirinya. Dia juga sudah paham dalam bergaul, seperti menentukan teman yang cocok dengannya. Di usianya yang masih menginjak bangku kelas 6 SD ia sudah ikut memikirkan keadaan ekonomi keluarganya.
Kesepian menjadi cerita Dini selanjutnua setelah ayahnya meninggal. Saat itu ia masih duduk di sekolah dasar. SD tempat Dini bersekolah cukup jauh mengharuskan ia berjalan bolak-balik melewati dua desa. Meskipun kadang ia dibonceng oleh temannya. Untuk memudahkan hidupnya ini, Dini menggunakan sepeda orang dewasa milik ayahnya yang menganggur. Ia begitu memimpikan sepeda, tetapi ia begitu memahami kondisi ekonomi keluarganya. Ibu dalam hidupnya adalah seseorang yang memberikan pengaruh besar untuk dapat mengenali lingkungan di sekelilingnya serta perbedaan-perbedaan dalam hidupnya. Juga termasuk memahami ketidaksukaannya pada sosok kakaknya yang bernama Nugroho. Seringkali Dini berselisih dengan kakaknya yang satu itu. Berbeda dengan kedekatannya dengan kakak perempuannya yaitu Maryam.
Kemampuan Dini dalam berbahasa dan menulis sudah sejak ia SD. Guru bahasa Indonesianya yang bernama Pak Purnomo memuji karangannya, tapi sedikit mengritik bahwa seharusnya ia menggunakan kata 'khawatir' daripada 'kewatir', yang adalah bahasa Jawa. Menanggapi hal itu, Dini menjawab dengan tegas bahwa kata khawatir berasal dari bahasa Arab. Itu sebabnya ia memilih untuk menggunakan kata kewatir, yang artinya sama namun diambil dari bahasa Jawa. Ia katakan bahwa bahasa lokal akan terasa lebih dekat dengan masyarakat daerah pemakai bahasa. Dari kemampuan tersebut, ia mulai menulis cerita ke RRI Semarang dan mendapatkan honor yang mampu membantu kebutuhan ekonomi keluarganya.
Tahun demi tahun berlewatan, Ibu telah membesarkan Dini dan kedua kakaknya dengan berhasil. Keremajaan menguasai diri Dini sepenuhnya. Ia menjadi seseorang yang peka dalam membaca gelagat-gelagat temannya. Dia dapat menentukan sikap kepada teman yang ia suka maupun yang tidak ia sukai. Dini mulai memandang seseorang, lalu beberapa orang pemuda dengan mata berlainan. Dalam hal yang satu ini, Dini cenderung tertutup. Dia lebih memilih merahasiakan dan tidak mau membicarakan hal-hal yang seperti itu.
Dini remaja kemudian jatuh cinta kepada laki-laki bernama Marso yang akhirnya cinta remajanya ini ternyata hanya sepihak karena terkuaknya hubungan Marso dengan Yul. Ketika ia tahu cintanya bertepuk sebelah tangan, ia mundur secara teratur. Dini bukan hanya kehilangan cintanya yang ternyata sepihak, tetapi juga harus dapat menerima kenyataan bahwa Maryam, kakaknya yang menjadi kawannya selama ini akan menikah. Karena perkawinan tersebut, ia merasa seolah-olah kehilangan seorang kawan dan seorang kakak.
Meskipun sedih ia memahami bahwa tidak semua yang ia inginkan bisa terpenuhi. Ia telah belajar dari hidupnya selama ini. Ia sudah tidak asing lagi, karena Pada masa kecil dan remajanya, ia sudah memikirkan banyak hal, baik keluarga, lingkungan, dan kegemarannya sendiri. Ia sudah mampu mengelola banyak konflik dalam memutuskan, menerima, menilai, memilih. Dan itu adalah sebuah keterampilan untuk menjadi mandiri.

B.    Sosok Seorang Nh. Dini

Penulis Indonesia yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini lahir di Sekayu, Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936. Nh. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya yang penuh larangan ini tertuang dalam kumpulan ceritanya yang berjudul “Sekayu”.  NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
 Nh. Dini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh wanita yang memberontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia dari kecaman laki-laki. Novel pertama Ibu dari Marie Claire Lintang dan Pierre Louris Padang ini berjudul Dua Dunia (1956) yang dengan ringannya ia menyatakan bahwa tulisan-tulisannya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan. Disusul dengan karya Nh. Dini selanjutnya yaitu La Barka (1973) dan Pada Sebuah Kapal (1985) yang tidak dipungkiri telah memberinya sebuah pengakuan sebagai seorang sastrawan.
N.H. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin. Dini berpisah dengan suaminya itu pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Pada saat bersuamikan Yves, Dini benar-benar memanfaatkan keadaannya sebagai seorang istri diplomat yang berkesempatan menetap di berbagai Negara. Dia menulis cerita-cerita yang bersetting di berbagai Negara berdasarkan pengalamannya. Pada periode ini hadirlah novel-novel N.H. Dini yang berjudul Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977). Selain novel-novel yang bersettingkan di berbagai Negara tersebut, Nh. Dini juga menulis novel yang berlatar di tempat kelahirannya di Semarang seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979). Selain novel-novel tersebut, Nh. Dini pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).
Karena karya-karyanya itu, ia diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara terbuka dan blak-blakan ke dalam tulisan. Selain itu, tidak heran jika penghargaan-penghargaan telah berhasil diperolehnya, yaitu : Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Walaupun banyak kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan kemudian di Paris, Ia kini tinggal di Yogyakarta.
Perannya di dunia sastra tidak diragukan karena dia adalah perempuan pertama yang dengan blak-blakan menceritakan pengalaman hidupnya melalui cerita-ceritanya. Selain Nh. Dini pada periode ini tercatat oleh Rosidi beberapa perempuan pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj. Dyiantinah B Supeno, dan Hartini. Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat di sejumlah majalah.
Hingga kini, Nh. Dini telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra. Cerita kenangan “Sekayu” sebagai karya sastra yang diinspirasikan dari kehidupan dan pengalaman-pengalaman Nh. Dini secara tidak langsung menuntun pembacanya untuk dapat mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja yang patut diteladani.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar